Latest News

Tuesday, August 30, 2011

Menyulap Kotoran Menjadi Biogas dan Pupuk

Banyak sebab yang membuat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjatuhkan pilihan untuk mengembangkan genset dual fuel di Kecamatan Cilengkrang, Bandung. Kecamatan ini tidak asing bagi para peneliti lembaga itu karena di sana Pusat Penelitian Informatika LIPI memasang alat pengukur curah hujan. Di daerah itu juga telah terdapat instalasi pengolah kotoran ternak menjadi biogas, yang dikembangkan oleh Yaya Sudrajat Sumarna, peneliti P2 Telimek LIPI.



Yaya, yang juga penduduk Cilengkrang, menyatakan instalasi pengolah kotoran sapi itu mampu menghasilkan tak kurang dari 4 meter kubik biogas setiap hari. Seharusnya angka itu bisa jauh lebih besar lagi, tapi reaktor untuk digester atau wadah pembusukan kotoran sapi belum lama ini jebol karena tanah longsor.



Lahan sempit di tebing bukit yang berada di bawah kandang sapi itu tak sanggup menyokong tempat penampungan sampah organik berkapasitas 25 ribu meter kubik, dengan berat hampir 5 ton, tersebut. "Kami terpaksa bikin yang kecil dulu," kata perancang alat pengolah sampah organik menjadi biogas itu.



Agar tetap dapat memasok biogas untuk penelitian genset dual fuel, untuk sementara dibuat wadah penampungan berkapasitas 2.500 liter campuran kotoran sapi plus air. Penampungan itu menghasilkan 4 meter kubik biogas per hari. Sekitar 60 persen biogas itu adalah gas metana (CH4), 38 persen karbon dioksida (CO2), dan sisanya gas hidrogen sulfida (H2S).



Sebelum dimasukkan ke reaktor, kotoran sapi yang dikumpulkan dari saluran pembuangan kandang sapi di atasnya disaring terlebih dulu. Kotoran sapi dicampur air dengan perbandingan 1 : 2 sebelum disalurkan ke digester. Wadah itu memiliki dua lubang, yaitu untuk memasukkan kotoran dan mengeluarkan pupuk organik yang tersimpan di dalamnya.



Wadah penampung (digester) yang terisi penuh kemudian dibiarkan selama 27 hari agar bisa menghasilkan biogas. Yaya mengatakan cuaca yang relatif dingin di Cilengkrang membuat proses terbentuknya biogas berjalan lebih lama. "Kalau panas, seminggu juga sudah jadi," katanya.



Tanda biogas terbentuk dapat diketahui bila kantong plastik yang dipasang di dekatnya menggelembung. Kantong plastik itu tersambung dengan pipa menuju lubang udara digester. Pipa itu sengaja dilengkapi pengaman agar kantong yang sudah penuh tidak jebol karena biogas yang berlebih bisa terembus keluar lewat pipa pengaman.



Jika biogas telah terbentuk, setiap hari dimasukkan campuran 500 liter kotoran sapi dan 1.000 liter air ke saluran digester. Bersama masuknya 500 liter sampah organik baru itu, sebanyak 500 liter kotoran yang sudah membusuk bisa langsung dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Yaya mengatakan, dengan sistem ini, setiap hari bisa dihasilkan pupuk organik plus biogas secara terus-menerus.



Sumber : http://www.tempo.co/hg/sains/2009/08/18/brk,20090818-193169,id.html



Monday, August 29, 2011

Biomassa, Energi Alternatif dari Limbah Industri Pangan

Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar minyak (BBM) membuat harga energi yang tidak bisa diperbarui ini terus meningkat. Lonjakan harga BBM membuat banyak negara kelimpungan. Meski telah lama dilakukan studi untuk mencari sumber energi terbarukan, belum ada solusi nyata yang benar-benar bisa menyamai BBM. Yang terbaru dan sudah mulai dikomersialkan adalah pemanfaatan minyak sawit dan buah jarak untuk menghasilkan biofuel.

Upaya untuk mencari sumber energi terbarukan tidak berhenti sampai di situ. Kini, para ilmuwan tengah berupaya menafaatkan limbah industri pangan untuk menghasilkan energi. Biomassa namanya. Biomassa merupakan energi yang dihasilkan dari limbah industri pangan, seperti limbah minyak kelapa sawit (CPO), limbah padi dan limbah pabrik gula.

Selain itu biomassa juga dapat dikembangkan dengan memanfaatkan limbah pengembangan bioetanol (tebu dan singkong), limbah biodiesel dan biooil (sawit dan jati). Pengembangan biomassa yang memanfaatkan limbah pertanian, kehutanan maupun industri perkebunan, bukan bahan pangan, merupakan alternatif dalam pengembangan energi dari sumber terbarukan yang akan menjadi pengganti BBM. Pasalnya, di abad 21 ini salah satu masalah global yang sedang dihadapi banyak negara adalah kompetisi antara kecukupan pangan, jaminan ketersediaan energi dan perlindungan lingkungan. Mengingat pentingnya pengembangan biomasa itu, Jepang telah mengajak beberapa negara, termasuk Indonesia untuk bersama-sama meneliti dan mengembangkan energi tersebut.

Kerja Sama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan National Institute for Advance Industrial Science and Technology (AIST) Jepang menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang pengembangan biomassa di Indonesia. Melalui kerja sama tersebut, kedua pihak akan meneliti, mengembangkan, dan merekayasa teknologi biomassa untuk pembangkit listrik. Menurut Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi BPPT Wahono Sumaryono, diperkirakan jumlah limbah dari industri pengolahan hasil pertanian dan kehutanan mencapai 12 juta ton per tahunnya. Dengan ketersediaan limbah tersebut, menurut dia, sebenarnya nilai potensial biomassa yang bisa dikembangkan di Indonesia mencapai 49,81 giga watt (GW). Sementara itu, yang saat ini telah dikembangkan nilainya baru mencapai 0,3 GW.

�Biomassa, saat ini memang lebih banyak dikembangkan di Indonesia karena di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman dan Jepang, teknologi itu masih dalam tahap penelitian. Dan kemungkinan energi biomassa baru bisa dikomersialisasi mulai 8 � 10 tahun mendatang,� kata Wahono usai penandatangan MoU dengan AIST di Jakarta. Menurut dia, pada 2005 lalu, jumlah limbah industri hasil pertanian, kehutanan yang telah dikembangkan untuk biomassa di Indonesia baru sekitar 5,2 juta ton. Kerja sama pengembangan biomassa antara Indonesia melalui BPPT dengan AIST tersebut merupakan implementasi dari Prakarsa Biomassa Asia. Inisiatif ini melibatkan negara-negara di kawasan Asia yang kaya akan sumber biomassa.

Potensial Dalam kerja sama tersebut, AIST akan didukung oleh New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO). Menurut Direktur Pusat Riset Teknologi Biomassa AIST Kinya Sakanissi, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat berpotensi mengembangkan biomassa di Asia. Pasalnya, Indonesia memiliki daerah pertanian yang luas. Di samping itu, pengembangan biomassa di Indonesia juga sangat diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Karena pemanfaatan tebu dan singkong untuk bioetanol terkait juga dengan kebutuhan masyarakat untuk bahan pangan.

Dengan demikian, pengembangan biomassa dengan memanfaatkan berbagai limbah, seperti limbah pertanian, kehutanan dan industri perkebunan akan lebih menguntungkan. �Selain itu, energi biomassa juga merupakan energi yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan emisi gas buang,� kata Sakanissi. Dalam rangka pengembangan sumber energi alternatif penggati BBM, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) N0.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan merujuk pada pemanfaatan biofuel dan biomassa. Dalam kaitan itu, pemerintah telah mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) sebagai program nasional yang melibatkan seluruh stakeholder, termasuk pemerintah daerah (pemda).

Sumber : http://www.alpensteel.com/article/60-108-energi-bio-fuel/749--biomassa-energi-alternatif-dari-limbah-industri-pangan.html

Sunday, August 28, 2011

Memproduksi Hidrogen Dengan Partikel Metal

Partikel metalik kecil yang diciptakan peneliti kimia di University of Adelaide, Australia, berpotensi untuk produksi energi yang bersumber dari hidrogen yang murah, efisien, dan bersih.

Tim yang dipimpin Associate Professor Greg Metha, Head of Chemistry University of Adelaide, itu mempelajari cara nanopartikel metal dapat berperan sebagai katalis yang sangat efisien untuk memecah molekul air menjadi hidrogen dan oksigen dengan menggunakan radiasi matahari.

"Produksi langsung dan efisien hidrogen dari radiasi matahari akan menyediakan sumber energi terbarukan yang benar-benar ramah lingkungan," kata Metha. Ia juga yakin, hasil penelitian ini akan menjadi kontribusi signifikan pada upaya global untuk mengonversi energi surya menjadi energi kimia yang portabel.

Pada penelitian yang telah berjalan selama 14 tahun itu, para peneliti bekerja dengan gugusan metal, yang berhasil mereka ciptakan, berukuran seperempat nanometer--kurang dari 10 atom. "Gugusan ajaib" inilah yang bertindak selaku katalis super-efisien. Katalis sendiri mendorong rekasi kimia sekaligus mengurangi jumlah energi yang dibutuhkan.

Proses memecah molekul air membutuhkan energi yang amat besar dan biayanya pun mahal. Dengan menggunakan radiasi matahari sebagai sumber energi, tidak akan ada emisi karbon. Dan karena gugusan metal itu bekerja dengan sangat efisien sebagai katalis, prosesnya menjadi lebih murah.

"Tujuan utamanya adalah untuk memproduksi hidrogen dari air sebagai sumber energi portabel yang murah," tukas Metha.

Sumber : http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1409/memproduksi-hidrogen-dengan-partikel-metal

Saturday, August 27, 2011

Pemerintah Jamin Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

Pemerintah secara resmi memberikan jaminan kepada para investor yang akan mengelola pembangkit listrik panas bumi terkait pembelian listrik oleh Perusahaan Listrik Negara. Ini ditandai dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) pengganti PMK Nomor 77/2011 tentang Jaminan Kelayakan Usaha PT PLN. PMK pengganti telah ditandatangani Menteri Keuangan pada 22 Agustus 2011. "Investor sudah menunggu dan minat mereka sangat besar untuk membangun pembangkit tenaga listrik panas bumi," kata Wakil Presiden Boediono yang memimpin rapat tentang listrik di Kantor Wakil Presiden, Selasa, 23 Agustus 2011.

Hadir pada rapat itu Kepala Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) Kuntoro Mangkusubroto, Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawaty, Direktur Utama PLN Dahlan Iskan, serta para pejabat eselon I dari berbagai kementerian terkait. Boediono memandang penting terbitnya peraturan pengganti ini untuk menyelesaikan kekhawatiran investor mengenai kemampuan finansial PT PLN. Peraturan pengganti ini secara lebih jelas mengatur bahwa penerima surat jaminan atas kemampuan PLN yang diterbitkan adalah pengembang listrik swasta yang bersangkutan.

Surat jaminan ini adalah garansi positif untuk masing-masing PPA dari pemerintah agar pelaksanaan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi semakin lancar. "Jaminan pemerintah tidak akan berlaku lagi jika setelah 48 bulan diterbitkan pengembang listrik swasta tidak juga berhasil mendapatkan dukungan keuangan untuk membiayai proyek," kata juru bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada seluruh investor agar pelaksanaan pembangunan pembangkit listrik panas bumi dapat segera bergulir. Pembangkit listrik tenaga panas bumi sangat penting karena pemerintah sudah bekomitmen menggunakan sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan bersih. Sebanyak 40 persen dari proyek pembangkit listrik 10 ribu MW tahap kedua akan menggunakan tenaga panas bumi.

PLN menilai jaminan yang akan diberikan pemerintah akan mempercepat pelaksanaan proyek pembangkit listrik panas bumi. Ia juga merasa lega draf PPA yang isinya ada 32 item ini berhasil dituntaskan. Setelah peraturan keluar, investor akan bicara dengan PLN dalam proyek Rajabasah dan Muara Laboh. Setelah tanda tangan itu mereka akan mencari usaha mengumpulkan dana. Usaha mencari dana tidak pendek diberikan waktu delapan bulan.

"Selama itu investor akan melakukan pengeboran, eksplorasi untuk menjajaki apakah di lokasi itu memang ada panas bumi, sehingga perkiraan saya geotermal nanti produksi listrik dalam waktu lima tahun. Dengan demikian kami berharap dalam waktu dekat ada penandatanganan perjanjian geotermal antara PLN dan investor," kata Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Dahlan Iskan usai rapat. Proyek panas bumi yang mendapat jaminan pemerintah itu sebesar 4.000 megawatt dalam puluhan proyek. Selain dua proyek itu, segera dilanjutkan proyek panas bumi di Sulelawah Aceh, Dien, Flores, dan Kota Mobago. "Yang banyak di Sumatera dan Jawa Barat," ujarnya.

Sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/08/23/brk,20110823-353162,id.html

Friday, August 26, 2011

Energi Panas Laut: Anti Gas Rumah Kaca

Perbedaan temperatur di bawah laut sebenarnya telah menjadi ide pemanfaatan energi dari laut. Kita tentu menyadari jika kita menyelam semakin dalam ke bawah permukaan, airnya akan semakin dingin. Temperatur di permukaan laut lebih hangat karena panas dari sinar matahari diserap sebagian oleh permukaan laut.



Tapi di bawah permukaan, temperatur akan turun dengan cukup drastis. Inilah sebabnya mengapa penyelam menggunakan pakaian khusus selam ketika menyelam jauh ke dasar laut. Pakaian khusus tersebut dapat menangkap panas tubuh sehingga menjaga mereka tetap hangat. Nah, pembangkit listrik dapat memanfaatkan perbedaan temperatur tersebut untuk menghasilkan energi. Pemanfaatan sumber energi jenis ini disebut dengan konversi energi panas laut atau Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC).



Perbedaan temperatur antara permukaan yang hangat dengan air laut dalam yang dingin dibutuhkan minimal sebesar 77 derajat Fahrenheit (25 �C) agar dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik dengan baik. Adapun proyek-proyek demonstrasi dari OTEC sudah terdapat di Jepang, India, dan Hawaii.



Berdasarkan siklus yang digunakan, OTEC dapat dibedakan menjadi tiga macam: siklus tertutup, siklus terbuka, dan siklus gabungan (hybrid). Pada alat OTEC dengan siklus tertutup, air laut permukaan yang hangat dimasukkan ke dalam alat penukar panas untuk menguapkan fluida yang mudah menguap seperti misalnya amonia. Uap amonia akan memutar turbin yang menggerakkan generator.



Uap amonia keluaran turbin selanjutnya dikondensasi dengan air laut yang lebih dingin dan dikembalikan untuk diuapkan kembali. Pada siklus terbuka, air laut permukaan yang hangat langsung diuapkan pada ruang khusus bertekanan rendah. Kukus yang dihasilkan digunakan sebagai fluida penggerak turbin bertekanan rendah. Kukus keluaran turbin selanjutnya dikondensasi dengan air laut yang lebih dingin dan sebagai hasilnya diperoleh air desalinasi.



Pada siklus gabungan, air laut yang hangat masuk ke dalam ruang vakum untuk diuapkan dalam sekejap (flash-evaporated) menjadi kukus (seperti siklus terbuka). Kukus tersebut kemudian menguapkan fluida kerja yang memutar turbin (seperti siklus tertutup). Selanjutnya kukus kembali dikondensasi menjadi air desalinasi.



Fluida kerja yang populer digunakan adalah amonia karena tersedia dalam jumlah besar, murah, dan mudah ditransportasikan. Namun, amonia beracun dan mudah terbakar. Senyawa seperti CFC dan HCFC juga merupakan pilihan yang baik, sayangnya menimbulkan efek penipisan lapisan ozon. Hidrokarbon juga dapat digunakan, akan tetapi menjadi tidak ekonomis karena menjadikan OTEC sulit bersaing dengan pemanfaatan hidrokarbon secara langsung.



Selain itu, yang juga perlu diperhatikan adalah ukuran pembangkit listrik OTEC bergantung pada tekanan uap dari fluida kerja yang digunakan. Semakin tinggi tekanan uapnya maka semakin kecil ukuran turbin dan alat penukar panas yang dibutuhkan, sementara ukuran tebal pipa dan alat penukar panas bertambah untuk menahan tingginya tekanan terutama pada bagian evaporator.



Kelebihan dari OTEC adalah penggunaannya tidak menghasilkan gas rumah kaca ataupun limbah lainnya, tidak membutuhkan bahan bakar, biaya operasi rendah, dan produksi listrik stabil. Di samping itu, penggunaannya juga dapat dikombinasikan dengan fungsi lainnya: menghasilkan air pendingin, produksi air minum, suplai air untuk aquaculture, ekstraksi mineral, dan produksi hidrogen secara elektrolisis.



Sementara kekurangannya antara lain, belum ada analisa mengenai dampaknya terhadap lingkungan. Terlebih, jika menggunakan amonia sebagai bahan yang diuapkan menimbulkan potensi bahaya kebocoran. Belum lagi biaya pembangunannya yang tidak murah.



Sumber : http://indomaritimeinstitute.org/?p=1289



Wednesday, August 24, 2011

Indonesia Menjajagi Pengembangan Biodisel Dari Rumput Laut

Rumput laut sebagai sumber alternatif energi merupakan hal baru yang harus didukung dan dikembangkan. Mikro alga sebagai biodisel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjajaki kerjasama dengan Korea Institute of Industrial Technology (KITECH) sebelum mengikuti the 2nd International Bionergy Forum di Seoul, Korea Selatan (30/10).



Kerjasama ini mempertemukan kebutuhan dan potensi dua pihak yang saling menguntungkan. Korea Selatan telah memiliki teknologi untuk memanfaatkan rumput laut sebagai sumber energi, lengkap dengan grand strategy, road map, model dan kegiatannya. Hal ini dipicu oleh kebutuhan yang sangat besar tentang energi, tapi tidak didukung oleh ketersediaan sumberdaya alam di negerinya. Bahan untuk kebutuhan rumput laut tentu memiliki keterbatasan. Dilain pihak, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan pantai yang panjang serta iklim yang hangat sepanjang tahun menyediakan potensi yang besar untuk menyediakan rumput laut sebagai bahan pembuatan bio-energi. Hanya saja, teknologi untuk itu belum dimiliki sehingga membutuhkan mitra untuk saling meraih keuntungan, jangka menengah dan jangka panjang.



Paradigma melihat bahan bakar energi energi sebetulnya dapat dilihat dari perubahan berganti-ganti melalui lima paradigma. Pada awal 1940, negara besar berupaya memperoleh wilayah yang kaya minyak. Termasuk Jepang yang mengincar Asia Tenggara, sehingga menyulut perang dunia di Asia Pasifik dengan Amerika dan sekutunya. Periode kedua, adalah pada saat terjadi perang teluk tahun 1970-an. Krisis minyak terjadi, harganya melonjak tinggi tapi dengan penemuan teknologi baru dan perdamaian dapat diwujudkan, harga minyak mulai normal. Selanjutnya pada tahun 1990-an, masyarakat dunia mulai menyadari adanya ancaman pemanasan bumi (global warning). Kebutuhan terhadap sumber energi yang bersih dibutuhkan, maka diberbagai lembaga penelitian dan perguruan tinggi banyak berlomba menemukan clean technology (teknologi yang bersih). Saat ini, yaitu mulai tahun 2000-an, saatnya masyarakat menggunakan paradigma kelima, yakni mulai menerapkan teknologi biomassa yang terbarukan dan berkelanjutan (renewable and sustainable technology). Dan ini termasuk bioenergi dari rumput laut.



Kerjasama yang akan dikembangkan oleh DKP dan KITECH adalah penelitian, pengembangan serta penerapan bio-teknologi kelautan dan pembangunan lingkungan, dengan ruang lingkup kerjasama meliputi: pengembangan bio-teknologi kelautan dan lingkungan, pertukaran data dan informasi, pertukaran pakar dan peneliti, melibatkan para peneliti dalam workshop dan penelitian bersama, pengembangan budidaya dan pasca panen perikanan, membangun kapasitas sumberdaya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan, mengembangkan pemanfaatan spesies alga yang lebih luas dan metode budidayanya, penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan metode budidaya, alih teknologi dalam pengembangan teknologi baru budidaya rumput laut, pembangunan fasilitas produksi baru, dan kenyamanan dalam pemeliharaan dalam budidaya rumput laut.



Pemanfaatan alga sebagai biodisel sebetulnya menjawab pertentangan dua kutub dalam memanfaatkan biodisel yang berasal dari tanaman daratan, yaitu kutub yang berorietasi pada penggunaan lahan untuk pangan dan kutub yang cenderung mengkonversi lahan untuk bahan baku biodisel dari tanaman sebagai energi terbarukan. Keberadaan rumput laut sebagai sumber energi alternatif tidak akan mengganggu pemanfaatan lahan daratan.



Rumput laut pantas menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan di samping udang dan tuna, karena beberapa keunggulannya, antara lain: peluang ekspor terbuka luas, harga relatif stabil, belum ada quota perdagangan bagi rumput laut; teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai; siklus pembudidayaannya relatif singkat yakni hanya 45 hari, sehingga cepat memberikan keuntungan; kebutuhan modal relatif kecil; merupakan komoditas yang tak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya; usaha pembudidayaan rumput laut tergolong usaha yang padat karya, sehingga mampu menyerap tenaga kerja. Kegunaan rumput laut sangat luas, dan dekat sekali dengan kehidupan manusia.



Saat ini sumber energi dunia masih didominasi oleh sumber yang tidak terbarukan (minyak, batubara dan gas), yakni sekitar 80,1%, dimana masing-masing adalah minyak sebesar 35,03%, batubara sebanyak 24,59% dan gas 20,44%. Sumber energi terbarukan, tapi mengandung resiko tinggi adalah energi nuklir sekitar 6,3%. Sumber energi yang terbarukan baru sekitar 13,6%, terutama biomassa tradisional sekitar 8,5%. Yang tergolong terbarukan disini termasuk tenaga surya, angin, tenaga air, panas bumi dan bio-energi. Keuntungan penerapan bionergi sudah jelas, yakni: (1) terbarukan dan berkelanjutan, (2) bersih dan efisien, (3) netral dari unsur karbon, malah bisa berdampak negatif terhadap karbon, (4) dapat menggantikan bahan bakar minyak untuk transportasi, (5) mengurangi pemanasan global (global warning) dan pencemaran udara, pencemaran air, dan (6) menjawab ketergantungan pada energi yang tak terbarukan.



Sumber : http://www.epasarikan.com/admin/Bulletins/Biodesel07.pdf



Tuesday, August 23, 2011

Ganggang Laut Serap Emisi Hasilkan energi

Ternyata banyak cara untuk mengurangi pemanasan global atau global warming. Misalnya, dengan mengurangi polusi udara yang disebabkan oleh asap kendaraan bermotor, dan juga mencari energi alternatif untuk bahan bakar yang ramah lingkungan. Kedua masalah tersebut dapat ditanggulangi oleh algae (ganggang laut). Ganggang laut punya potensi besar dalam upaya mengatasi pemanasan global. Organisme yang mudah hidup di laut itu punya kemampuan besar menyerap karbondioksida dan dapat diolah menjadi biofuel, bahan bakar ramah lingkungan.

Penelitian dalam skala laboratorium yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membuktikan algae (ganggang) di laut membesar 20-25 kali hanya dalam 15 hari dengan diberi makan karbondioksida (CO2).

�Ganggang dari jenis Chaetoceros sp. dengan jumlah sel awal 40.000 sel per mililiter setelah diberi CO2 menjadi sebesar 780.000 sel per ml dalam 15 hari, bahkan Chlorella sp. dengan jumlah sel awal 40.000 sel per ml menjadi sejuta sel per ml dalam 15 hari,� kata kata Kepala BPPT Dr Marzan Aziz Iskandar dalam seminar �Implementasi Pengurangan Emisi Karbondioksida sebagai Upaya Mitigasi Global Warming�, di Jakarta, Rabu.

Menurutnya, ini bisa menjadi konsep awal penghitungan penyerapan karbon di laut. Indonesia yang memiliki potensi laut sangat luas berkesempatan untuk mengambil peran besar dalam menyerap karbon dioksida. Di lain pihak, ujar Marzan, ganggang kemudian bisa dipanen sebagai bahan baku biofuel yang prosesnya memiliki efisiensi 40 persen lebih tinggi dibanding membuat biofuel dengan bahan baku minyak kelapa sawit (CPO).

BPPT akan melanjutkan penelitian tersebut dengan menghubungkan kultur fotobioreaktor ganggang tersebut di mulut gas buang pembangkit listrik untuk mengetahui penyerapannya terhadap gas CO2 dan menambahkan penelitian berikutnya tentang pemanenan plankton sebagai biofuel.

Menurut Marzan, ke depan, penangkapan dan penyerapan karbon dengan algae bisa diterapkan di pembuangan emisi karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang biasanya dibangun di pinggir laut.

Pengurangan emisi karbon dari industri, ujar Marzan, selain dengan penggunaan �Carbon Capture Sequestration� seperti ini, juga bisa dilakukan dengan pemanfaatan energi terbarukan dan perbaikan teknologi yang mampu melakukan efisiensi energi serta memperbaiki proses produksi menjadi lebih hemat bahan bakar.

Masyarakat juga hendaknya mulai menbiasakan perilaku hemat energi. seperti menghemat listrik dan membiasakan diri menggunakan kendaraan umum ketika bepergian untuk mengurangi polusi udara.

Sumber : http://www.kamusilmiah.com/teknologi/algae-serap-emisi-hasilkan-energi/

Rumput Laut : Sumber Energi Alternatif

Penggunaan energi sehari-hari semakin hari semakin meningkat akan tetapi persediaan energi terutama dari bahan bakar minyak (BBM) makin menipis dan mungkin akan habis sama sekali. Pemakaian energi dari BBM seperti premium, solar sampai minyak tanah juga menghasilkan polusi dan berakibat pada pemanasan global. Dampak pemanasan global, sangat terasa sejak Tahun 1998 terjadinya kenaikan temperatur yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut sekitar 10-25 cm, dan diprediksi pada tahun 2100 temperatur akan meningkat 6�C. Apabila tidak ada pengendalian akan menjadi petaka terhadap penurunan kualitas bagi umat manusia. Oleh karenanya segera untuk dilakukan upaya pengadaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil. Penyusutan dari sumber daya alam BBM tersebut merupakan tantangan dari semua pihak. Sebagaimana tertuang pada UU no 30 Tahun 2007, Tentang Energi, Pemerintah wajib menyediakan energi terbaru dan terbarukan sebagai bagian dari diversifikasi energi dan juga tanggungjawab semua pihak.



Pemerintah pun telah meluncurkan berbagai program salah satunya adalah pemanfaatan minyak jarak, minyak sawit, ubi kayu dan berbagai biji-bijian digunakan sebagai bahan baku BBN (Bahan Bakar Nabati) terbarukan. Namun proses budidaya yang memerlukan lahan cukup luas, menjadi kendala di lapangan karena lahan tersebut ternyata digunakan juga sebagai lahan budidaya tanaman pangan yang juga tetap harus menjadi prioritas utama. Solusi yang muncul atas masalah terakhir ini digunakanlah lahan marginal sebagai tempat pembudidayaan bahan baku BBN. Namun efisiensi penggunaan lahan ini belum ada data yang jelas. Sementara itu ada komoditi lahan yang dapat digunakan sumber bahan baku BBN yaitu rumput laut. Proses pembudidayaan rumput laut yang tidak mengurangi lahan pertanian pangan dan luas wilayah negara kita yang 2/3-nya berupa lautan tentunya bisa menjadi pertimbangan utama.



Indonesia sebagai negara kepulauan,dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memilki potensi bahan baku rumput laut untuk energi alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Rumput laut yang melimpah di perairan Indonesia adalah bahan tumbuhan prospektif bagi kemandirian energi alternatif dari tumbuh-tumbuhan.



Potensi pengembangan bioetanol rumput laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Data survey menunjukkan ketersediaan lahan di luar Jawa yang sesuai untuk tebu terdapat sekitar 750 ribu ha, disamping potensi arael existing industri seluas 420 ribu ha (areal tebu Indonesia tahun 1993/1994). Luasan ini lebih kecil dibandingkan potensi lahan budidaya rumput laut yang mencapai 2,1 juta ha.



Selain itu asumsi yang sudah berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa 80 liter bioetanol dapat dihasilkan dari 1 ton tebu (data teknis di Brazil) dan produktivitas tebu rata-rata 80 ton per ha, maka dari setiap ha lahan tebu dapat dihasilkan 6.400 liter etanol. Apabila etanol dari tebu dapat mensubstitusi 10% dari kebutuhan gasoline pada tahun 2010 (33,4 milyar liter), maka target tersebut bisa dicapai dengan pengembangan areal tebu seluas 522 ribu ha. Dengan target subsitusi tersebut, jumlah bioetanol yang dapat disubstitusi sebesar 3,34 milyar liter atau lebih dari Rp 15 triliun. Sedangkan produktivitas rumput laut rata-rata 25 ton per ha per panen (umur panen 2 bulan), maka akan dihasilkan rumput laut 100 - 125 ton per ha per tahun. Tentunya akan menghasilkan bioetanol yang lebih besar lagi.



Dari uraian di atas bisa di tarik pemahaman bahwa :



Penggunaan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan bioetanol memiliki keuntungan waktu budidayanya singkat dan produktivitasnya tinggi dibandingkan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar dan jagung sebagai bahan baku bioetanol.

Wilayah Indonesia yang 70 % -nya berupa perairan sangat cocok sebagai lahan budiaya rumput laut.



Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut adalah persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, merubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi.



Sebuah peluang besar pengembangan energi alternatif di masa depan, yang dimiliki oleh Bangsa ini. Sebuah peluang untuk lepas dari ketergantungan sumber energi fosil yang pasti habis dan tak terbarukan. Sejauh mana kita sungguh peduli dengan sumber energi terbarukan ini?

Kapan kita mulai?. atau selalu seperti biasa kita tertinggal dan baru peduli setelah kejadian?. Semoga kali ini tidak.



Sumber : http://www.esdm.go.id/news-archives/323-energi-baru-dan-terbarukan/4017-rumput-laut--sumber-energi-alternatif-.html



Sunday, August 21, 2011

Bahan Bakar Strategis Dari Rumput Laut

Indonesia harus menetapkan strategi menggunakan rumput laut sebagai bahan bakar nabati utama.



Bahan bakar fosil pasti akan habis. Tenaga surya akan terkena dampak perubahan iklim di wilayah tropis yang semakin banyak hujan. Adapun biofuel dari tanaman darat, akan bersaing dengan program ketahanan pangan dan persaingan penggunaan lahan tanah dengan pemukiman.



"Dilain hal, negeri kita jelas merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dan memiliki pantai terpanjang di dunia�, demikian disampaikan oleh Soen�an H. Poernomo dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada saat memberikan tanggapan dalam Seminar Nasional Sosialisasi Produk Perencanaan Kementerian PPN/Bappenas yang membahas tentang �Ketahanan Energi dan Perubahan Iklim�, tanggal 3 November 2010.



Indonesia dengan produksi rumput laut terbesar di dunia, yakni 1.021.143 ton, sangat feasible untuk mengandalkan rumput laut sebagai sumber energi. Selama ini rumput laut kebanyakan hanya untuk makanan, kosmetik dll

Prof. Dr. Emil Salim



Penggunaan rumput laut sebagai andalan strategis tersebut didukung oleh Dr. Sugiharto, SE, MBA, Komisaris Utama Pertamina (Persero) karena hal tersebut sesuai dengan kondisi geografis negeri kita dan sekaligus akan meningkatkan perekonomian atau kesejahteraan masyarakat pesisir yang relatif lebih miskin.



Prof. Dr. Emil Salim juga mengingatkan bahwa negeri kita memiliki sumber daya laut yang terbesar di dunia. Indonesia harus bergeser dari bahan bakar yang tidak terbarukan



Potensi seperti minyak, batu bara, gas alam dan sebagainya, menuju ke bahan bakar dari sumber daya alam yang terbarukan, seperti hasil pertanian, budidaya rumput laut dan sebagainya yang pasti bisa dikelola secara berkelanjutan. "kalau India dan Cina tidak memiliki banyak sumberdaya laut, ini berarti negeri kita memiliki daya saing lebih, dibanding dua raksasa ekonomi baru tersebut"ujarnya.



Menurut Soen�an, sebetulnya strategi politik energi Korea selatan bagus dijadikan contoh. Negeri yang menyadari keterbatasan kepemilikan bahan bakar fosil ini, mengandalkan energi dari rumput laut untuk masa depannya.Korean Institute of Technology (KITECH) menginginkan bisa bekerjasama membuat model pemanfaatan rumput laut sebagai bahan bakar di Sulawesi Barat atau di Kepulauan Bangka Belitung.



Profesor Ir. Widjajono Partowidagdo, Ph. D dari Dewan Energi Nasional, yang juga sebagai Guru Besar ITB, melihat peluang energi laut dari banyaknya selat diantara pulau-pulau di Indonesia. Di perairan luar Jawa akan bisa diperoleh energi yang lebih murah dalam daerah atau masyarakat yang berdomisili di wilayah terpencil. Ia memberikan contoh lain, seandainya air di Danau Poso, Sulawesi Tengah, dimanfaatkan, maka akan diperoleh energi senilai 3 cent dolar AS per KWH, dibanding dari minyak berharga 33 cent dolar AS per KWH dan kalau gas senilai 13 cent dolar AS per KWH



Sumber : http://wartapedia.com/bisnis/potensi/978-qrumput-lautq-bahan-bakar-strategis.html



Ocean Energy sebagai Solusi Krisis Energi

Indonesia memilki sumber energi yang melimpah yang bisa dikonversi menjadi tenaga listrik, dari panas bumi, batu bara, bioetanol, hingga bahkan ocean energy mengingat dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan. Ocean energy resources yang dimiliki Indonesia bisa dibilang yang terbaik dan terbesar di dunia.

Namun sayangnya, upaya untuk mengembangkan energi yang melimpah ini belum serius dikaji. Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa cadangan minyak yang dimiliki Indonesia diperkirakan hanya untuk 25 tahun ke depan. Selanjutnya dari mana negara ini akan mendapatkan energi listrik? Jawabannya ada di laut, khususnya lautan yang berada di wilayah tropis.

Ocean energy merupakan alternatif energi terbaru termasuk sumber daya nonhayati yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Potensi energi laut mampu memenuhi empat kali kebutuhan listrik dunia sehingga tidak mengherankan jika berbagai negara maju telah berlomba memanfaatkan energi laut itu.

Listrik tenaga pasang surut

Teknologi pembangkit listrik pasang surut (PLPS) ini mungkin sudah dikuasai penuh oleh bangsa Indonesia. Pada prinsipnya teknologi tersebut tidak berbeda dengan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) seperti yang diterapkan di Waduk Jatiluhur dan waduk-waduk lainnya, yakni air laut ketika pasang ditampung dalam suatu wilayah yang dibendung dan pada waktu pasang surut air laut dialirkan kembali ke laut. Pemutaran turbin dilakukan dengan memanfaatkan aliran air ketika masuk ke dalam dam dan ketika keluar dari dam menuju laut.

Kendala utama penerapan teknologi PLPS ini ada dua. Pertama, pemerintah belum pernah memanfaatkan energi pasang surut ini untuk menghasilkan listrik sehingga tenaga ahli Indonesia yang telah menguasai teknologi pembangkit listrik tenaga air belum pernah merancang dan menerapkan atau membangun secara langsung dari awal.

Kedua, pembangunan ini akan merendam wilayah yang luas, apalagi bila harus merendam beberapa desa di sekitar muara atau kolam. Di sini kemudian akan muncul masalah sosial, bukan hanya masalah teknologi.

Kapasitas listrik yang dihasilkan PLPS ini sebaiknya untuk kapasitas besar, di atas 50 megawatt, agar bisa ekonomis seperti PLTA. Sumber energi PLPS ini banyak berada wilayah timur Indonesia, mulai Ambon hingga Papua. Di wilayah itu kebutuhan listrik masih kecil dan membutuhkan power cable bawah laut yang sangat panjang untuk bisa membawa listrik ke Pulau Sulawesi yang membutuhkan listrik dalam jumlah besar.

Di negara lain, beberapa pembangkit listrik sudah beroperasi menggunakan ide itu. Salah satu PLPS terbesar di dunia terdapat di muara Sungai Rance di sebelah utara Prancis. Pembangkit listrik ini dibangun pada 1966 dan berkapasitas 240 megawatt.

PLPS La Rance didesain dengan teknologi canggih dan beroperasi secara otomatis sehingga hanya membutuhkan dua orang untuk pengoperasian pada akhir pekan dan malam hari. PLPS terbesar kedua di dunia terletak di Annapolis, Nova Scotia, Kanada, dengan kapasitas yang mencapai 160 megawatt.

Listrik tenaga panas laut

Perbedaan temperatur di bawah laut sebenarnya telah menjadi ide pemanfaatan energi dari laut. Kita tentu menyadari jika kita menyelam semakin dalam ke bawah permukaan, airnya akan semakin dingin. Temperatur di permukaan laut lebih hangat karena panas dari sinar matahari diserap sebagian oleh permukaan laut.

Tapi di bawah permukaan, temperatur akan turun dengan cukup drastis. Itulah sebabnya penyelam menggunakan pakaian khusus selam ketika menyelam jauh ke dasar laut. Pakaian khusus tersebut dapat menangkap panas tubuh sehingga menjaga mereka tetap hangat.

Nah, pembangkit listrik dapat memanfaatkan perbedaan temperatur tersebut untuk menghasilkan energi. Pemanfaatan sumber energi jenis ini disebut dengan konversi energi panas laut atau ocean thermal energy conversion (OTEC). Proyek-proyek demonstrasi dari OTEC sudah terdapat di Jepang, India, dan Hawaii.

Listrik gelombang laut

Peneliti Universitas Oregon memublikasikan temuan teknologi terbarunya yang diberi nama permanent magnet linear buoy. Diberi nama buoy karena memang pada prinsip dasarnya teknologi terbaru tersebut dipasang untuk memanfaatkan gelombang laut di permukaan. Itu berbeda dengan buoy yang digunakan untuk mendeteksi gelombang laut yang menyimpan potensi tsunami.

Peneliti Oregon menjelaskan prinsip dasar buoy penghasil listrik tersebut yaitu beroperasi dengan mengapung di permukaan. Gelombang laut yang terus mengalun dan berirama bolak-balik dalam buoy itu akan diubah menjadi gerakan harmonis listrik.

Sekilas bila dilihat dari bentuknya, buoy itu mirip dengan dinamo sepeda. Bentuknya silindris dengan perangkat penghasil listrik pada bagian dalamnya. Buoy diapungkan di permukaan laut dengan posisi sebagian tenggelam dan sebagian lagi mengapung.

Kuncinya terdapat pada perangkat elektrik yang berupa koil (kumparan yang mengelilingi batang magnet di dalam buoy). Saat ombak mencapai pelampung, pelampung tersebut akan bergerak naik dan turun secara relatif terhadap batang magnet sehingga bisa menimbulkan beda potensial dan listrik dibangkitkan. Tentu saja agar dapat bergerak koil tersebut ditempelkan pada pelampung yang dikaitkan ke dasar laut.

Dalam percobaan sistem itu diletakkan kurang lebih 1-2 mil laut dari pantai. Kondisi ombak yang cukup kuat dan mengayun dengan gelombang yang lebih besar akan menghasilkan listrik dengan tegangan yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Universitas Oregon, setiap pelampung mampu menghasilkan daya sebesar 250 kilowatt.

Penjelasan di atas menggunakan teknik koil yang bergerak naik turun, tetapi bisa juga dengan teknik batang magnet yang bergerak naik turun. Pilihan kedua dengan menggunakan pelampung, penempatan koil dan batang magnet bisa juga ditempatkan di dasar atau di permukaan laut.

Jika dibandingkan dengan energi angin atau matahari, kerapatan energi gelombang laut jauh lebih tinggi. Peneliti yang sama dari OSU, Alan Wallace, menyebutkan penyediaan energi gelombang itu dengan hanya 200 buoy yang diapungkan, satu buah pelabuhan atau kota besar seperti Portland yang besarnya hampir dua kali Jakarta sudah dapat memanfaatkan energinya dengan sangat melimpah tanpa harus menarik bayaran.

Keyakinannya semakin lebih diperkuat dengan efisiensi penghasilan energi yang tinggi dan besar. Energi gelombang laut ini bisa menjadi energi utama pengganti energi sekarang. Di samping nilai ekonomis yang cukup menjanjikan, ada hal-hal lain yang dapat memberikan keuntungan di bidang lingkungan hidup. Energi itu lebih ramah lingkungan, tidak menimbulkan polusi suara, emisi CO2, maupun polusi visual dan sekaligus mampu memberikan ruang kepada kehidupan laut.

Energi ganggang laut

Alga atau dikenal sebagai tanaman ganggang termasuk tumbuhan yang bisa tumbuh di perairan mana saja. Selain tidak memerlukan air tawar untuk tumbuh, alga dapat ditanam di lahan yang tidak subur dan perairan laut dangkal yang banyak terdapat di Indonesia yang notabene beriklim tropis.

Walaupun tidak memerlukan lahan luas, potensi hayati yang dimiliki alga dinilai luar biasa oleh para ahli biologi. Beberapa waktu lalu, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan akan mengambil sumber hayati tersebut sebagai salah satu cadangan untuk menggantikan BBM fosil, yang dalam waktu tidak lama diperhitungkan akan habis dari perut bumi.

Sebagaimana diketahui, mikroalga menggunakan sinar matahari, air, dan karbon dioksida untuk menghasilkan oksigen dan bioenergi melalui fotosintesis. Tanaman, yang tampak tumbuh di permukaan air, dapat dibudidayakan pada lahan marginal di kolam terbuka atau di mesin-mesin khusus yang disebut inkubasi photobioreactors, yang menggunakan emisi karbon dioksida dari industri makanan.

Sesuai dengan hasil penelitian, ganggang disebut-sebut lebih produktif daripada tanaman lain karena mereka terus membuat bahan bakar terlepas dari cuacanya. Semua kebutuhan bahan bakar transportasi Amerika Serikat secara teori bisa dipenuhi ganggang yang dibudidayakan di suatu daerah seukuran negara Belgia. Tanaman itu merupakan salah satu 'generasi kedua' dari bioenergi, yang dirancang untuk mengatasi kekurangan bahan bakar dari biji-bijian.

Hebatnya, selain bisa dimanfaatkan sebagai bioenergi atau bahan bakar minyak, alga juga ternyata bisa menjadi sumber listrik yang potensial dan cukup berharga bagi kehidupan masa depan manusia. Para ahli bioelektro dari Stanford University, AS, dan Yonsei University, Seoul, Korea Selatan, beberapa waktu lalu, ternyata menemukan sumber energi listrik masa depan yang dihasilkan dari sel alga.

Oleh Y Paonganan
Direktur Eksekutif Indonesia Maritime Institute
Sumber : http://www.mediaindonesia.com/

Thursday, August 18, 2011

Energi dari Ganggang Laut

Sargassum muticum dan Undaria pinnatifida adalah dua jenis alga atau ganggang yang terbawa oleh perahu-perahu yang datang dari Jepang dan Laut Sargassum. Alga tersebut tumbuh di pelabuhan Venesia, menimbulkan masalah tersendiri bagi gondola dan kapal feri. Namun sekarang alga tersebut dapat diubah menjadi sumber daya yang menguntungkan.



Italia telah mengumumkan sebuah proyek ramah lingkungan yang bernilai 200 juta euro. Proyek tersebut bergerak dalam pengambilan rumput laut yang jumlahnya sangat banyak yang menutupi kanal-kanal di Venesia untuk kemudian diubah menjadi energi yang bebas emisi. Idenya adalah membuat pembangkit daya listrik dengan bahan bakar alga, sebuah fasilitas yang baru di Italia untuk jenis ini. Pabrik tersebut akan dibangun melalui kerja sama dengan Enalg, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pembaruan energi, yang akan beroperasi dalam jangka waktu dua tahun dan akan menghasilkan 40 mega watt listrik, yang setara dengan separuh energi yang diperlukan seluruh kota Venesia.



Alga tersebut akan dikumpulkan dalam laboratorium dan diletakkan dalam silinder plastik dimana air, karbon dioksida, dan cahaya matahari dapat memicu terjadinya fotosintesis. Biomassa yang dihasilkan akan diolah lebih lanjut untuk menghasilkan bahan bakar untuk pembangkit turbin. Karbon dioksida yang dihasilkan selama proses akan diumpankan kembali ke alga, yang menghasilkan emisi nol dari pabrik tersebut.



Ide tersebut terdengar bagus dan sepertinya dapat membuka kesempatan yang luas untuk produksi energi dengan emisi nol. Kota Venesia dapat menjadi contoh langkah awal evolusi inovatif yang nyata meskipun masih banyak keraguan mengenai seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk proyek ini serta izin yang diperlukan untuk membangun pabriknya.



Sumber : http://www.greenradio.fm/technology/energy/bio-energy/1169-energi-dari-ganggang-laut



Mengubah Garam Jadi Listrik

Secangkir teh di tangan putri mahkota Norwegia, Mette-Marit, itu begitu istimewa. Teh itu adalah minuman pertama yang diseduh dengan tenaga osmosis, hasil pembangkit listrik tenaga osmosis pertama di dunia yang diresmikan di Tofte, Norwegia, 24 November lalu.

Pembangkit baru tersebut memanfaatkan energi dari pertemuan air tawar dan air laut untuk menghasilkan listrik bersih. �Garam saja mungkin tak dapat menyelamatkan dunia, kami yakin tenaga osmosis ini akan menjadi bagian penting sumber energi terbarukan global di masa depan,� kata Bard Mikkelsen, pemimpin Statkraft, kelompok perusahaan energi milik pemerintah Norwegia.

Perusahaan energi alternatif, mulai energi surya, angin, hingga air, membangun prototipe pembangkit listrik tenaga osmosis itu di Hurum, tepi Teluk Oslo, 60 kilometer selatan ibu kota Norwegia. �Ketika air tawar dari sungai mengalir ke laut dan bercampur dengan air asin, ada energi yang dilepaskan,� ujarnya, �Statkraft telah mengembangkan teknologi dan sistem untuk menangkap energi itu.�

Pemanfaatan energi osmosis ini dilandaskan pada fenomena alam osmosis, yang memungkinkan pohon mengisap air dari daun. Prinsip itu kemudian diterapkan pada pembangkit listrik baru ini dengan menyalurkan air tawar dan air laut yang memiliki kandungan garam tinggi ke bilik yang dipisahkan oleh sebuah membran buatan. Membran tipis itu dapat dilewati air, tapi tak dapat ditembus garam.

Molekul garam dalam air laut menarik air tawar menembus membran, menyebabkan tekanan pada bilik air laut meningkat. Hal itu terjadi karena air mengalir dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih tinggi. Tekanan setara dengan tangki air setinggi 120 meter atau sama dengan sebuah air terjun itulah yang digunakan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik.

Menteri Perminyakan dan Energi Norwegia Terje Riis-Johansen amat bangga atas peresmian pembangkit listrik tenaga osmosis pertama di dunia itu. �Kami berada di barisan terdepan, dan kami telah membuka sesuatu yang belum pernah dibuka sebelumnya,� ujarnya.

Riis-Johansen pantas berbangga hati atas peresmian pembangkit listrik tenaga osmosis ini. Meski listrik yang dihasilkan prototipe itu baru sebatas untuk menyeduh teh dan kopi, listrik yang diproduksinya ramah lingkungan dan bersih. Berbeda dengan energi alternatif lain, semisal angin dan tenaga surya, tenaga osmosis juga lebih unggul. Sumber energi baru ini menghasilkan listrik yang stabil tanpa terpengaruh kondisi cuaca. �Ini adalah bentuk energi terbarukan yang menghasilkan energi stabil yang dapat diandalkan,� kata Stein Erik Skilhagen, penanggung jawab proyek tersebut di Statkraft.

Pembangkit listrik ini juga bisa dibangun di bawah tanah, misalnya di bawah gedung pabrik atau taman. Kelebihan lain pembangkit energi osmosis ini juga tidak menyebabkan polusi ke atmosfer atau air, dan tidak mempengaruhi flora dan fauna di sungai maupun di dasar laut.

Sebelum Statkraft memanfaatkan tenaga osmosis untuk menghasilkan listrik, fenomena itu hanya digunakan oleh industri untuk mendesalinasi atau menyuling air laut menjadi air tawar. Kini hampir semua negara yang berbatasan dengan laut dapat memanfaatkan energi osmosis ini, karena yang diperlukan hanyalah pertemuan air tawar dan air laut. Asalkan ada sungai yang mengalir ke laut, pembangkit energi osmosis bisa didirikan.

Potensi energi osmosis di seluruh dunia diperkirakan mencapai 1.700 terawatt hour(TWh) per tahun, setara dengan separuh produksi energi Uni Eropa atau sama dengan konsumsi listrik Cina pada 2002.

Masalahnya sekarang adalah membran yang lebih efisien energi. Gagasan untuk menciptakan listrik dari energi osmosis sebenarnya telah muncul pada 1970-an. Namun, membran pada masa itu sangat rendah kemampuannya dan biaya listrik masih murah sehingga tak ada yang mau berinvestasi untuk membuat membran.

Prototipe ini pun dibangun pemerintah Norwegia untuk menguji teknologi osmosis sekaligus mengembangkan membran yang mampu menarik cukup banyak air agar dapat menciptakan tekanan yang efektif sebagai penggerak turbin. Pada saat ini, prototipe pembangkit tersebut hanya dapat memproduksi 2.000-4.000 watt jam per hari atau cukup untuk menyalakan satu kompor saja.

Untuk memperbaiki teknologi membran tersebut, Statkraft bekerja sama dengan lembaga riset dan industri di Norwegia, Jerman, dan Belanda. Pada saat ini, membran yang paling efisien hanya mampu menghasilkan 3 watt per meter persegi sehingga belum memenuhi standar komersial, yakni 5 watt per meter persegi.

Statkraft berharap dapat mulai membangun pembangkit listrik tenaga osmosis komersial pertamanya pada 2015. Rencananya, pembangkit listrik itu memiliki kapasitas hingga 25 megawatt, cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik 10 ribu rumah.

Sumberhttp://www.tempointeraktif.com/hg/sains/2009/11/26/brk,20091126-210625,id.html

Tuesday, August 16, 2011

Bahan Bakar Bioetanol Bisa Gantikan Premium

Bahan bakar BE85 bisa digunakan sebagai energi alternatif ramah lingkungan pengganti bahan bakar fosil yang tingkat polusi dari proses pembakarannya cukup tinggi.



Wah mengapa? Karena BE85 bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar bensin. Ini karena BE85 memiliki nilai kalor atau panas yang lebih rendah daripada premium.



Dosen di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) Hendry Yoshua Nanlohy, mengatakan BE85 merupakan bahan bakar Bioetanol yang dapat dipakai untuk sepeda motor berbahan bakar bensin. Di mana bahan bakar tersebut bisa didapatkan dengan cara mencampurkan 85 persen Bioetanaol dengan bensin (premium) sebesar 15 persen.



"Efisiensi termal terbesar yang dihasilkan BE85 untuk sepeda motor adalah 17,44 persen pada putaran mesin 3000 rpm (round per minutes). Sedangkan pada premium terjadi pada 7.500 rpm sebesar 20,36 persen. Hal ini berkaitan dengan temperatur gas buang yang dihasilkan dari masing-masing bahan bakar," ujar Hendry kepada wartawan di Jayapura, Sabtu (26/11/2011).



Dia mengatakan, dibandingkan dengan bahan bakar premium, bahan bakar BE85 memiliki kelebihan dalam hal efisiensi termal atau panas yang dihasilkan dari pembakaran lebih rendah dibanding premium.



Pada putaran mesin terbesar, temperatur gas buang bahan bakar BE85 standar antara 530 hingga 540 derajat selsius. Sedangkan premium bisa mencapai 870 sampai 890 derajat selsius pada putaran mesin terbesar.



"Tetapi kandungan energi yang dimiliki Bioetanol lebih kecil dibandingkan premium. Oleh sebab itu, untuk memperoleh daya yang setara atau lebih besar maka kita perlu mensuplai bahan bakar yang lebih banyak lagi," lanjut Dosen Teknik Mesin ini.



Menurutnya, apabila berjalan sempurna maka proses pembakaran bahan bakar fosil hanya menghasilkan gas karbondioksida. Tetapi kenyataannya pembakaran tersebut tidak berlangsung sempurna sehingga dari proses itu dihasilkan pula beberapa gas yang membahayakan kesehatan tubuh manusia di antaranya gas karbonmonoksida, hidrokarbon dan nitrogen.



Sedangkan Bioetanol pada umumnya memiliki kandungan oksigen yang lebih banyak sehingga proses pembakaran lebih sempurna dan bisa mengurangi terbentuknya gas buang karbon,� terang Hendry.



Sumber : http://economy.okezone.com/read/2011/02/26/320/429160/



Monday, August 15, 2011

Sel Surya, Sumber Energi yang Tidak Akan Habis

Permintaan akan kebutuhan energi setiap tahunnya terus bertambah, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin cepat. Selama bertahun-tahun, energi fosil (minyak bumi, gas alam, dan batu bara) merupakan sumber energi utama untuk memenuhi kebutuhan energi dunia. Namun, sumber energi ini merupakan sumber energi yang akan habis dan tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu, demi memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, para peneliti di dunia terus mengembangkan sumber energi alternatif yang dapat dipergunakan sebagai pengganti energi fosil. Salah satu sumber energi alternatif yang cukup populer adalah energi sinar matahari. Energi sinar matahari atau yang sering disebut dengan energi surya, merupakan energi yang berasal dari matahari dan termasuk golongan sumber energi yang tidak akan habis dan tidak terbatas jumlahnya.

Potensi matahari sebagai sumber energi sangat besar. Hal ini dikarenakan jumlah energi matahari yang sampai ke bumi sangat besar, sekitar 700 Megawatt setiap menitnya. Negara-negara yang berada di garis khatulistiwa memiliki potensi besar untuk memanfaatkan energi ini, karena intensitas sinar matahari pada daerah ini cukup besar dan stabil sepanjang tahun, yaitu sekitar 4,8 kWh/m2/hari. Energi surya semacam ini merupakan modal dasar untuk pengembangan sumber energi terbarukan dengan konversi energi surya menjadi listrik melalui sel surya.

Sel Surya

Sel surya bekerja menggunakan energi matahari dengan mengkonversi secara langsung radiasi matahari menjadi listrik. Sel surya merupakan perangkat semikonduktor yang terdiri dari diode tipe p-n (p-n junction) yang mampu mengubah energi cahaya (foton) menjadi energi listrik. Perubahan energi ini biasa disebut dengan efek fotovoltaik.

Efek ini ditemukan oleh Becquerel pada tahun 1839 pada saat Alexandre-Edmond Becquerel mendeteksi adanya tegangan foton ketika sinar matahari mengenai elektroda pada larutan elektrolit. Sel surya pertama kali dibuat oleh Charles Fritts pada 1883 yang melapisi semikonduktor selenium dengan lapisan emas yang sangat tipis untuk membentuk junction. Era modern dalam pembuatan sel surya dimulai pada 1954, pada saat Bell Laboratories bereksperimen dengan semikonduktor dan menemukan bahwa silikon yang didoping dengan beberapa bahan memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap cahaya.

Prinsip Kerja Sel Surya Silikon

Semikonduktor tipe-n bisa didapatkan dengan mendoping silikon dengan unsur dari golongan V sehingga terdapat kelebihan elektron valensi dibanding atom sekitar. Sedangkan semikonduktor tipe-p diperoleh dengan doping oleh golongan III sehingga elektron valensinya kurang satu dari atom sekitar. Daerah yang ditinggalkan elektron ini disebut dengan hole. Ketika kedua material tersebut mengalami kontak, maka kelebihan elektron dari tipe-n akan berdifusi ke tipe-p sehingga area doping-n akan bermuatan positif sedangkan area doping-p akan bermuatan negatif. Medan elektrik yang terjadi antara keduanya mendorong elektron kembali ke daerah-n dan hole ke daerah-p. Pada proses ini terbentuklah p-n junction.

Pada saat cahaya mengenai permukaan silikon pada sel surya, ada beberapa hal yang mungkin terjadi. Pertama, foton akan menembus silikon. Hal ini biasanya terjadi pada foton yang memiliki energi yang rendah. Kedua, foton akan dipantulkan oleh permukaan. Ketiga, foton akan diserap oleh silikon. Ketika foton diserap oleh silikon, maka hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya panas maupun membentuk pasangan elektron-hole yang terjadi ketika energi foton yang datang lebih tinggi daripada lebar pita energi silikon. Apabila ditempatkan hambatan pada terminal sel surya, maka elektron dari area-n akan kembali ke area-p sehingga arus akan mengalir.

Pemanfaatan energi surya sangat menjanjikan bagi pengembangan energi terbarukan di negara-negara yang berada di sekitar garis khatulistiwa. Sumber energi fosil yang semakin menipis, sangat mendesak penggantian pemanfaatan energi lain yang lebih memiliki prospek di masa mendatang.

Sumber:
1. Septina, Wilman, Pembuatan Prototipe Solar Cell Murah dengan Bahan Organik-Inorganik (Dye-sensitized Solar Cell), Laporan Penelitian Bidang Energi, Bandung, 2007.
2. Suherdiana, Rudi, Pembuatan Prototipe Dye Sensitized Solar Cell Berbasis Nanopori Semikonduktor Anorganik, Laporan Akhir Lomba Karya Ilmiah Antar Himpunan Mahasiswa, Bandung, 2007.
3. http://majalahenergi.com/terbaru/sumber-energi-yang-tidak-akan-habis

Sunday, August 14, 2011

Bioetanol Padat yang Praktis

Kemudahan mendistribusikan bahan bakar padat menjadi inspirasi Soelaiman Budi Sunarto ketika ingin meracik bioetanol padat. Pendiri Koperasi Serba Usaha Agromakmur, Karanganyar, Jawa Tengah, ini terus menginovasi temuan-temuannya berkait energi untuk masyarakat pedesaan.



"Setiap kali saya menemukan cara baru untuk menghasilkan bahan bakar alternatif, tidak pernah berniat untuk mengajukan patennya. Ini supaya masyarakat mana pun mudah membuatnya," kata Budi, Kamis (16/12/2010) di Jakarta.



Sejak tahun 1998, Budi menggeluti usaha di pedesaan untuk memproduksi apa pun sebisa mungkin. Bioetanol hanya salah satunya. Selain itu, Budi juga memproduksi jamur tiram dengan isi polybag khas racikan dia, hingga dikenal lebih banyak menghasilkan jamur dibandingkan yang lainnya.



Budi juga menciptakan alat pembentuk gas metana untuk sumber energi ramah lingkungan dari sampah organik. Alat itu dinamai albakos, singkatan dari alat biogas konsumsi sampah.



Ia juga memberikan nama kompor "Bahenol" untuk ciptaan kompor berbahan bakar hemat etanol. Baru-baru ini Budi memaparkan temuan barunya, bioetanol padat. Ia sendiri lupa kapan memperoleh inspirasi itu secara pasti. "Inspirasinya sudah sejak lama," ujar Budi.



Tanpa jelaga



Bioetanol yang dimaksudkan Budi adalah etanol atau alkohol. Budi memproduksinya dengan proses fermentasi bahan-bahan organik mengandung glukosa.



Di pedesaan, Budi mudah menjumpai limbah organik dari hasil pertanian. Seperti sekam padi juga mengandung glukosa. Begitu pula limbah sayur-mayur bisa dijadikan bahan organik untuk fermentasi menghasilkan bioetanol.



"Limbah pertanian air kelapa menjadi salah satu bahan baku paling baik. Tetapi, selama ini yang terbaik untuk membuat alkohol tetap dari tetes tebu," kata Budi.



Budi juga memproduksi mikroorganisme yang dipakai untuk fermentasi bahan organik. Selama ini Budi juga mendidik generasi muda untuk banyak memproduksi bioetanol.



Cita-citanya di kemudian hari, akan terdapat pompa-pompa bahan bakar bioetanol di mana pun juga. Tidak sulit untuk mewujudkannya karena bahan bakunya tersedia melimpah di sekitar kita.



Bioetanol memiliki titik nyala rendah sekitar 13 derajat celsius sehingga sangat mudah terbakar. Untuk bahan baku bioetanol padat, Budi menggunakan kadar 80 persen. Kadar ini merupakan hasil penyulingan tahap pertama.



Alkohol memiliki titik didih 78 derajat celsius. Melalui pemanasan, alkohol mudah dipisahkan dengan kadar air yang memiliki titik didih sampai 100 derajat celsius.



"Pendistribusian bioetanol cair tergolong susah. Misalnya, setiap kali saya membawa hasil uji coba bioetanol ke Jakarta untuk dianalisis laboratorium, selalu saja ditahan di bandara keberangkatan di Solo," kata Budi.



Sekarang, lanjut Budi, ketika membawa bioetanol padat dari Solo ke Jakarta tidak lagi terhambat di bandara. Tidak diizinkannya membawa bioetanol cair di dalam pesawat ini juga bagian dari inspirasi Budi untuk menciptakan bioetanol padat.



Pendistribusian bioetanol padat tidak membutuhkan wadah seperti bioetanol cair yang tidak boleh bocor. Kemasan bioetanol padat menjadi tidak merepotkan dibandingkan bioetanol cair. "Ketika dipakai untuk bahan bakar kompor, bioetanol padat tidak mengeluarkan jelaga," katanya.



Bagaimana bioetanol dipadatkan?



Limbah minyak bumi




Sebetulnya, bioetanol padat bukanlah diperoleh dari proses pemadatan atau pembekuan bioetanol cair. Bioetanol padat adalah penyertaan bahan bakar cair bioetanol ke dalam bahan padat residu minyak bumi yang dikenal sebagai stearit acid.



Stearit acid merupakan bahan baku parafin atau lilin. Stearit acid juga dikenal sebagai palm wax. Harga di pasaran Rp 17.000 sampai Rp 20.000 per kilogram.



"Cara membuatnya, padatan stearit acid dipanaskan terlebih dahulu sampai mencair," ujar Budi.



Kemudian disiapkan setengah liter bioetanol untuk campuran stearit acid 1 kilogram. Hanya diaduk sebentar, kemudian campuran harus segera didinginkan.



Pendinginannya di wadah paralon dengan ukuran 3 dim. Ini supaya ketika dingin dan memadat kembali, akan membentuk tabung atau silinder paralon. "Saya mempersiapkan potongan paralon 3 dim itu masing-masing sepanjang 30 sentimeter," kata Budi.



Untuk 1 kilogram stearit acid dan setengah liter bioetanol tersebut, Budi memperoleh dua selongsong bioetanol padat. Ia kemudian memotongnya dengan panjang 2 sentimeter, hingga diperoleh 20 potong.



Ketika dinyalakan di kompor, satu potong bioetanol itu mampu bertahan menyala hingga dua jam. Budi membuat perbandingan dengan kompor minyak tanah. Dengan minyak tanah satu liter, ternyata juga mampu menyala selama dua jam.



Jika dihitung biaya produksinya, satu potong bioetanol padat berukuran 2 sentimeter itu sekitar Rp 4.000. Adapun minyak tanah Rp 7.000 per liter. "Bioetanol padat ini jauh lebih murah," kata Budi.



Budi telah menunjukkan hasil nyata yang bisa diuji kembali oleh para ahlinya. Bagi dia, inovasi tidak harus melalui riset dengan biaya tinggi. Inovasi yang sederhana dan mudah diterapkan justru lebih bernilai bagi masyarakat.



Sumber : http://sains.kompas.com/read/2010/12/24/10423723/Bioetanol.Padat.yang.Praktis



Bioethanol Lebih Ekonomis

Bioethanol bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak. Selain hemat, pembuatannya bisa dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Anda pun akan mendapatkan nilai ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16 ribu, maka dengan bioethanol Anda bisa berhemat Rp 4 ribu. Lebih ekonomis, bukan?



Pengalaman membuat dan menggunakan bioethanol ini diceritakan oleh Bambang Kisudono, warga kota Surabaya yang memanfaatkan sampah dapurnya untuk membuat dan mengembangkan bioethanol di lingkungannya.



Awalnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya (ITS) dari kajiannya menyimpulkan bahwa bioethanol dengan kompor khusus terbukti lebih efisien ketimbang kompor kerosin. Temuan ini membuat Bambang berinisiatif melakukan pengolahan bioethanol sendiri.



Sudah sekitar enam bulan, Bambang memakai bioethanol sebagai bahan bakar untuk kepentingan dapur rumah tangganya. Ia bisa berhemat sekitar Rp 4 ribu dibandingkan saat memakai bahan minyak tanah, yang seharinya mengeluarkan Rp 16 ribu.



�Untuk warga pedesaan, nilai rupiah itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain,� ujarnya.



Perbandingan penggunaan bioethanol dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya dengan 3 liter minyak tanah, Anda hanya membutuhkan satu liter bioethanol. Dengan volume 100 cc akan membuat api menyala sekitar 30-40 menit.



Bambang menceritakan proses pembuatan bioethanol yang dilakukannya. Menurutnya, bahan baku bioethanol itu terbagi tiga. Bahan berpati, bahan bergula dan bahan selulosa. Bahan baku bergula, misalnya adalah tebu, nila, dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya ubi kayu, sagu, jagung, biji sogun, dan kentang manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh manusia.



�Oleh ITS disarankan pengembangan bioethanol itu tidak menggunakan bahan yang dimakan manusia. Hal itu agar tidak mengganggu ketahanan pangan nasional,� ujarnya.



Untuk penggunaan bahan baku berpati, Bambang memilih singkong yang tidak dimakan manusia, yaitu singkong yang beracun. Lalu, ia pun memanfaatkan limbah sagu dan bonggol jagung. Intinya adalah, ia menghindari bahan baku yang secara langsung dimakan manusia, dan memakai limbah dari bahan makanan tersebut.



�Proses pembuatan bioethanol itu tidak lama. Paling yang agak lama adalah proses peragian yang bisa mencapai 2-3 hari,� kata Bambang.



Bambang pun mulai menjelaskan langkah-langkah yang biasa ia lakukan, dalam membuat bioethanol. Singkong racun dan kulit pisang itu dihancurkannya, dan dijadikan bubur. Setelah hancur, bubur itu dicampur ragi agar menghasilkan glukosa. Proses ini akan menghasilkan bahan baku bergula.



�Nah, bahan bergula yang disebutkan tadi sebenarnya akan mempersingkat proses pembuatan bioethanol. Karena kita melewati proses penghancuran dan peragian itu,� jelasnya.



Setelah mendapatkan glukosa, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi. Caranya, kembali memberikan ragi ke dalamnya. Dari proses ini maka diperolehlah bioethanol dengan kadar alkohol rendah. �Setelah proses ini selesai, kita bisa segera memanfaatkannya sebagai bahan bakar untuk memasak,� pungkasnya.



Sumber : http://www.greenradio.fm/technology/energy/bio-energy/446-bioethanol-lebih-ekonomis



Thursday, August 11, 2011

Rumput Laut Penghasil Bioethanol, Potensi Besar Laut Indonesia

Pada era sekarang ini, penggunaan energi semakin meningkat, akan tetapi persediaan energi terutama energi berbahan baku fosil semakin menipis. Persediaan minyak bumi dan batu bara sangat terbatas dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk. Selain itu, bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi dan berakibat pada pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan suatu energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global.

Salah satu energi yang terbarukan yaitu energi yang berbahan baku rumput laut. Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Caulerpa serrulata dan Gracilaria verrucosa merupakan spesies rumput laut yang dapat menghasilkan bioetanol. Jenis ini memiliki kandungan selulosa yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa yang selanjutnya dapat diubah menjadi bioetanol.

Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut yaitu persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, mengubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan, tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi. Tetapi sebelum distilasi, perlu dilakukan pemisahan antara padatan dengan cairan, untuk menghindari terjadinya penyumbatan selama proses distilasi. Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dengan air. Titik didih etanol murni adalah 78 oC sedangkan air adalah 100 oC untuk kondisi standar. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78�100 oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95% volume.

Keuntungan mengembangkan energi berbahan baku rumput laut yaitu, proses pembudidayaan rumput laut tidak mengurangi lahan pertanian pangan karena tidak memerlukan lahan darat. Selain itu, Indonesia sebagai Negara kepulauan yang daerahnya terdiri dari 2/3 lautan dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memiliki potensi besar untuk membudidayakan rumput laut. Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha sekitar 20% dari luas areal potensial.

Proses pembudidayaan rumput laut pun relatif singkat karena hanya memerlukan sekitar 45 hari untuk bisa dipanen. Produktivitas rumput laut cukup tinggi dibandingkan dengan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar, dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Rumput laut pun melakukan fontosintesis sehingga dapat menyerap gas CO2 yang menyebabkan pemanasan global di dunia. Selama ini, pengatasian pemanasan global selalu dikaitkan dengan penanaman pohon. Padahal, laut memiliki potensi yang besar untuk membantu mengatasi masalah pemanasan global. Pengaruh industri bioetanol dari rumput laut terhadap upaya meringankan dampak pemanasan global lebih besar karena etanol rumput laut menyerap karbon dari udara tujuh kali lebih besar dibanding bioetanol dari kayu.

Rumput laut sebagai biodiesel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. 1 ha lahan rumput laut dapat menghasilkan 58.700 liter (30% minyak) pertahunnya, jumlah tersebut sangat besar dibandingkan jagung yang menghasilkan 172 liter/tahun dan kelapa sawit yang menghasilkan 5.900 liter/tahun.

Bioetanol dari rumput laut telah terbukti lebih murah biaya dan menguntungkan dibanding dari tebu dan kayu karena pertumbuhannya lebih cepat sehingga memungkinkan panen sampai enam kali dalam setahun. Biaya produksi bioetanol dari rumput laut lebih murah dibanding dari kayu karena rumput laut tidak mengandung lignin sehingga proses pengolahannya tidak dibebankan oleh penanganan pendahuluan proses.

Sumber:
http://yudiprasetyo.info/rumput-laut-sebagai-bahan-pembuatan-biofuel/
indosmarin.com/2008/11/ri-korea-kembangk...el-dari-rumput-laut/
http://portal.pi-umkm.net/en/opini/quo-vadis-kekayaan-laut.html
go-greenergy.blogspot.com/2009/07/rumput...i-bahan-biofuel.html
http://rumputlaut.org/undip-kembangkan-bahan-ba...oetanol-rumput-laut/
majalahenergi.com/media/kunena/attachmen...ages/rumput_laut.jpg
http://majalahenergi.com/forum/energi-baru-dan-terbarukan/bioenergy/rumput-laut-penghasil-bioethanol-potensi-besar-laut-indonesia

Wednesday, August 10, 2011

RUMPUT LAUT ALTERNATIF SUMBER ENERGI

Kebutuhan energi Fosil seperti bensin atau solar, kian hari kian meningkat. Hal ini menjelaskan, bahwa, kebutuhan energi masih tergantung pada ketersediaan engergi fosil ini. Padahal ketersediaan energi fosil berbanding terbalik dengan kebutuhannya. Karena sifat energi fosil yang tidak terbarukan.

Pengaturan penggunaan BBM bersubsidi yang belakangan digagas oleh pemerintah. Lebih didasarkan agar subsidi BBM bisa relatif tepat sasaran, bukannya bagaimana mengurangi konsumsi BBM itu sendiri. Misalnya melalui pengaturan jumlah maksimum kendaraan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika ketersedian energi fosil yang tidak terbarukan habis lebih cepat dari perkiraan.

Ironinya, meskipun isu krisis energi santer didengungkan, hal tersebut seperti angin lalu saja. Terutama jika mengacu pada angka kebutuhan BBM. Padahal dengan mengurangi konsumsi energi fosil bisa meredam gejolak global warming yang kian menunjukkan jati dirinya.

Karena disinyalir, dampak dari global warming ini, sangat terasa sejak Tahun 1998. Seperti naiknya temperatur suhu bumi yang melelehkan es dikedua kutub bumi dan membuat permukaan air laut meningkat sekitar 10-25 cm, bahkan pada tahun 2010 temperatur diprediksi akan meningkat hingga 6�C.

Apabila tidak ada upaya pengendalian akan menjadi petaka terhadap penurunan kualitas hidup umat manusia. Misalnya melalui pengadaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil.

Penyusutan dari sumber daya alam BBM tersebut merupakan tantangan dari semua pihak. Sebagaimana tertuang pada UU no 30 Tahun 2007, Tentang Energi, dimana Pemerintah wajib menyediakan energi terbaru dan terbarukan sebagai bagian dari diversifikasi energi dan juga tanggungjawab semua pihak.

Pemerintah pun telah meluncurkan berbagai program salah satunya adalah pemanfaatan minyak jarak, minyak sawit, ubi kayu dan berbagai biji-bijian digunakan sebagai bahan baku BBN (Bahan Bakar Nabati) terbarukan. Namun proses budidaya yang memerlukan lahan cukup luas, menjadi kendala di lapangan karena lahan tersebut ternyata digunakan juga sebagai lahan budidaya tanaman pangan yang juga tetap harus menjadi prioritas utama.

Solusi yang muncul atas masalah terakhir ini digunakanlah lahan marginal sebagai tempat pembudidayaan bahan baku BBN. Namun efisiensi penggunaan lahan ini belum ada data yang jelas. Sementara itu ada komoditi lahan yang dapat digunakan sumber bahan baku BBN yaitu rumput laut. Proses pembudidayaan rumput laut yang tidak mengurangi lahan pertanian pangan dan luas wilayah negara kita yang 2/3-nya berupa lautan tentunya bisa menjadi pertimbangan utama.

Indonesia sebagai negara kepulauan,dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memilki potensi bahan baku rumput laut untuk energi alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Rumput laut yang melimpah di perairan Indonesia adalah bahan tumbuhan prospektif bagi kemandirian energi alternatif dari tumbuh-tumbuhan.

Potensi pengembangan bioetanol rumput laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Data survey menunjukkan ketersediaan lahan di luar Jawa yang sesuai untuk tebu terdapat sekitar 750 ribu ha, disamping potensi arael existing industri seluas 420 ribu ha (areal tebu Indonesia tahun 1993/1994). Luasan ini lebih kecil dibandingkan potensi lahan budidaya rumput laut yang mencapai 2,1 juta ha.

Selain itu asumsi yang sudah berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa 80 liter bioetanol dapat dihasilkan dari 1 ton tebu (data teknis di Brazil) dan produktivitas tebu rata-rata 80 ton per ha, maka dari setiap ha lahan tebu dapat dihasilkan 6.400 liter etanol. Apabila etanol dari tebu dapat mensubstitusi 10% dari kebutuhan gasoline pada tahun 2010 (33,4 milyar liter), maka target tersebut bisa dicapai dengan pengembangan areal tebu seluas 522 ribu ha.

Dengan target subsitusi tersebut, jumlah bioetanol yang dapat disubstitusi sebesar 3,34 milyar liter atau lebih dari Rp 15 triliun. Sedangkan produktivitas rumput laut rata-rata 25 ton per ha per panen (umur panen 2 bulan), maka akan dihasilkan rumput laut 100 - 125 ton per ha per tahun. Tentunya akan menghasilkan bioetanol yang lebih besar lagi.

Dari uraian di atas bisa di tarik pemahaman bahwa penggunaan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan bioetanol memiliki keuntungan waktu budidayanya singkat dan produktivitasnya tinggi dibandingkan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Wilayah Indonesia yang 70 % -nya berupa perairan sangat cocok sebagai lahan budiaya rumput laut.

Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut adalah persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, merubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi.

Sebuah peluang besar pengembangan energi alternatif di masa depan, yang dimiliki oleh Bangsa ini. Sebuah peluang untuk lepas dari ketergantungan sumber energi fosil yang pasti habis dan tak terbarukan. Sejauh mana kita sungguh peduli dengan sumber energi terbarukan ini? Kapan kita mulai? atau selalu seperti biasa kita tertinggal dan baru peduli setelah kejadian? Semoga kali ini tidak.

Sumber : http://www.greenmining.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=342&catid=89&Itemid=106

Malaysia Bangun PLTN Generasi-3 di Perbatasan Sumatera Utara

Kebutuhan energi yang semakin mendesak mendorong Malaysia memutuskan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Lokasinya disebut-sebut di sebuah pulau milik Malaysia yang berbatasan dengan Sumatera Utara (Sumut), Indonesia.



Meski belum diketahui detail PLTN itu, namun anggota Tim Sosialisasi PLTN Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Wawan H Purwanto menyebut parlemen Malaysia sudah merekomendasikan penggunaan nuklir di lokasi itu sebagai energi alternatif.



"Negara jiran Malaysia sudah dipastikan mendirikan instalasi nuklir, tapi bukan di wilayah Indonesia tapi di pulau mereka sendiri. Memang kalau ditarik garis ya, di perbatasan Indonesia di sekitar Sumatera Utara," katanya kepada Pelita, di Jakarta, Selasa (19/4).



Selain Malaysia, negara tetangga Indonesia yang juga sudah memastikan mendirikan PLTN adalah Vietnam dan Thailand. Vietnam disebut-sebut berencana membangun 13 instalasi, sedangkan Thailand empat instalasi.



Sementara Singapura, seperti dikutip AFP, awal pekan ini menyatakan "masih jauh" dari pemanfaatan energi tersebut, sebagaimana dijelaskan Menteri Senior Negara untuk Perdagangan dan Industri S Iswaran.



Dirjen Badan Nuklir Malaysia Muhammad Lebai Juri mengakui reaktor yang akan mereka bangun adalah reaktor generasi-3 yang mereka klaim lebih baik dari Jepang.



"Reaktor sekarang adalah reaktor generasi-3 yang lebih baik dari Jepang. Di sini, di Malaysia, kita akan mencari sistem baru dengan memasukkan kapasitas sistem keamanan-nya," kata Muhammad dikutip Uvetmdingnews.



"Kami siap dan akan menentukan langkah-langkah tertentu jika terjadi kebocoran. Kami memiliki sejumlah badan-badan yang akan melakukan langkah-langkah pengamanan jika terjadi kebocoran. Anda harus tahu, Jepang membangun nuklirnya sejak tahun 1970, seperti reaktor nuklir generasi-1," sambungnya.



Dia tidak menyebut nama lokasi tempat yang paling tepat untuk membangun PLTN. Dia menambahkan, sejumlah pakar dari badan nuklir sedang menjajaki rencana ini. "Ada risiko namun teknologi berkembang dan kita juga harus memenuhi kebutuhan kita," kata Muhammad. Kebutuhan mendesak



Wawan H Purwanto menjelaskan, Indonesia memang sudah seharusnya segera merintis penggunaan energi nuklir sebagai energi pengganti bahan bakar fosil. Apalagi kebutuhan energi Indonesia setiap tahun terus meningkat. Jika pada tahun ini hanya sekitar 35.000 Megawatt, maka pada 2025, kebutuhan energi Indonesia sudah meningkat tajam menjadi 100.000 Megawatt.



"Padahal ketersediaan minyak bumi di Indonesia hanya tinggal 21 tahun lagi, gas 61 tahun, dan batubara hanya tersedia 80 tahun lagi," ungkapnya.



Dari sisi ketersediaan bahan baku nuklir seperti uranium,menurut Wawan H Purwanto, Indonesia sangat melimpah. Di Pulau Bangka, bahan baku uranium bisa memasok sampai 400 tahun.



"Di Kalimantan dekat perbatasan Malaysia, malah persediaan uraniumnya juga sampai dua pertiga, sementara Malaysia hanya sepertiganya," katanya.



Sampai saat ini, kata Wawan, Indonesia baru memiliki tiga reaktor itupun untuk tujuan riset seperti di Serpong, Bandung, don Yogyakarta dengan daya sekitar 90 Megawatt. "Selain sebagai riset, energi nuklir itu baru sebatas untuk digunakan pertanian, peternakan, dan kedokteran," ujarnya.



Wawan H Purwanto juga mengakui isu pembangunan energi nuklir di Indonesia menimbulkan pro-kontra di masyarakat karena sebagian besar belum memahami pentingnya memiliki energi nuklir, (rid/zis/jon)



Sumber : http://bataviase.co.id/node/647282



Tuesday, August 9, 2011

Teknologi Osmosis, Energi Terbarukan Yang Patut Diperhitungkan

Pendahuluan
Hingga saat ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi krisis energi yang melanda penduduk dunia. Kebutuhan akan energi yang meningkat drastis ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan produksi karena masih bersumber pada sumber energi utama yang tidak dapat diperbarui dan mulai menipis. Salah satunya adalah kebutuhan akan listrik, yang saat ini masih diperoleh dari bahan bakar fosil yang memiliki dampak lingkungan seiring penggunaannya yang besar.

Untuk mengatasi masalah dampak lingkungan, berbagai penelitian telah diupayakan untuk memperoleh energi yang ramah lingkungan dan nilai ekonomis yang tinggi, serta daya yang besar. Saat ini, pembangkit listrik dengan konsep renewable energy mulai dikembangkan di negara-negara maju. Teknologi energi osmosis pada pembangkit listrik merupakan salah satu bagian dari renewable energy yang kini telah mulai dikembangkan.

Proses pembangkitan listrik merupakan proses yang melibatkan perubahan energi kinetik menjadi energi listrik dengan memutar rotor pada generator, sehingga diperlukan tekanan untuk memutar rotor. Proses osmosis inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk menghasilkan tekanan tersebut. Teknologi energi osmosis menghasilkan energi stabil yang dapat diandalkan karena tidak dipengaruhi kondisi cuaca. Pembangkit energi osmosis pun dapat dibangun di bawah tanah dan tidak berdampak lingkungan, yakni tidak menyebabkan polusi udara maupun air, serta tidak mempengaruhi keseimbangan flora dan fauna di dasar laut.

Potensi energi osmosis di seluruh dunia diperkirakan mencapai 1700 terawatt hour (TWh) per tahun, setara dengan separuh produksi energi Uni Eropa atau konsumsi listrik Cina tahun 2002. Negara yang berbatasan dengan laut, seperti Indonsia, dapat memanfaatkan energi ini asalkan ada sungai yang mengalir ke laut. Wilayah lautan Indonesia yang seluas 3.257.483 km2 sangat berpotensi untuk diterapkannya pembangkit listrik tenaga osmosis. Tentunya kajian instrumentasi dan ekonomis penerapan energi osmosis sebagai pembangkit listrik di Indonesia ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penerapannya dapat diimplementasikan di Indonesia.

Konsep Teknologi Osmosis

Osmosis merupakan salah satu sifat yang dimiliki dari fluida untuk berpindah melalui lapisan semipermeable di antara dua fluida dengan kepekatan berbeda. Lapisan ini berfungsi memisahkan dua lapisan dan karena hanya mampu ditembus oleh air, maka partikel padatan terlarut akan tertahan. Akibatnya, gerakan fluida mengalir dari kepekatan rendah menuju kepekatan tinggi hingga mencapai kepekatan yang sama.

Perpindahan fluida akibat aliran fluida dari kepekatan rendah menuju kepekatan tinggi, akan mengakibatkan adanya perubahan volume yang akan menimbulkan tekanan pada fluida yang lebih pekat. Tekanan inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber energi kinetik untuk memutar rotor generator pada pembangkit listrik dengan konsep teknologi osmosis, yakni dapat dengan memanfaatkan air laut.

Konsep teknologi osmosis yang diterapkan pada pembangkit listrik, yakni dengan menyalurkan air tawar dan air laut yang memiliki kandungan garam tinggi menuju bilik yang dipisahkan oleh suatu membran buatan yang hanya dapat dilewati oleh air dan tidak dapat ditembus oleh garam, seperti membran polimer. Molekul garam dalam air laut menarik air tawar untuk menembus membran, sehingga menyebabkan tekanan pada sisi air laut meningkat. Tekanan tersebut setara dengan tangki air setinggi 120 meter atau sama dengan dengan sebuah air terjun yang digunakan untuk menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik.

Teknik Osmosis

Teknik osmosis yang digunakan pada pembangkit listrik memiliki dua tipe berbeda, yakni SHEOPP Converter dan Underground PLO Plant. Pembangkit SHEOPP Converter yang menggunakan air laut sebagai fluida pekat dan air sungai atau dam sebagai fluida kurang pekat, di letakkan di dasar laut karena faktor beda ketinggian dan kadar kepekatan air laut. Prinsip yang sama untuk Underground PLO Plant, hanya bedanya diletakkan di bawah tanah.

Kelebihan Pembangkit Listrik Tenaga Osmosis

Dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya, pembangkit listrik tenaga osmosis memiliki beberapa kelebihan, diantaranya
� Tidak memerlukan lahan yang luas, karena memanfaatkan air sungai dan air laut, sedangkan PLTA membutuhkan lahan yang sangat luas sehingga biaya pembangunan dan pemeliharaan instalasi PLTA pun cukup besar
� Tidak menghasilkan efek samping atau polusi udara maupun air
� Memanfaatkan fenomena alam
� Mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil
� Aliran sungai dan laut cenderung stabil atau tetap, sehingga tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu dekat
� Potensi energi yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan sumber energi angin, karena berat jenis air lebih besar dibandingkan udara
� Sangat sustainable, karena tanpa emisi CO2, Nox dan Sox
� Dapat menghasilkan listrik yang stabil tanpa terpengaruh kondisi cuaca
� Bahan bakunya gratis dan melimpah karena memanfaatkan tenaga air sungai dan air laut

Tantangan Teknologi Energi Osmosis

Saat ini, masih sedikit investor yang berminat mengembangkan pembangkit listrik tenaga osmosis karena permasalahan pada sisi lapisan membran sebagai komponen penting dan faktor biaya yang diperlukan untuk menghasilkan energi listrik per watt-nya. Penelitian untuk menemukan membran yang mampu menarik cukup banyak air agar dapat menciptakan tekanan yang efektif, serta murah dan efisien untuk meningkatkan hasil produksi, mutlak perlu dilakukan. Membran yang digunakan saat pertama kali teknik ini digunakan adalah polyamide. Namun, kini tengah dikembangkan membran baru yang murah, yakni polyethilene plastic sehingga dapat dikomersialkan. Membran yang paling efisien saat ini hanya mampu menghasilkan 3 watt per meter persegi, belum memenuhi standar komersial, yakni 5 watt per meter persegi. Selain itu, muncul biaya produksi, seperti biaya pompa (pumping cost) dan installing cost. Untuk installing cost, sesuai perhitungan yang dibuat oleh ilmuwan, kira-kira mencapai $36.000 per kilowatt.

Perkembangan pembangkit teknologi osmosis hingga saat ini hanya terdapat di beberapa tempat, yakni Perusahaan Statkraft di Tofte, Norwegia (perusahaan pertama di dunia yang memanfaatkan teknologi energi osmosis) dan Eddy Potash Mine di New Mexico. Karena teknologi ini tergolong baru dan hanya dikuasai oleh beberapa negara, maka akan diperlukan pendanaan yang besar untuk mengembangkannya di Indonesia. Sehingga diperlukan penelitian yang lebih mendalam baik dalam hal perancangan alat maupun penentuan tempat yang efektif serta pendanaan untuk riset para ahli yang bersangkutan. Selain itu, diperlukan regulasi pemerintah yang berhubungan dengan tata niaga energi dan perangkat hukumnya sehingga dapat diperdagangkan.
Kesimpulan

Teknologi pembangkit listrik tenaga osmosis merupakan salah satu energi alternatif yang perlu dikembangkan di Indonesia. Konsep yang digunakan cukup sederhana, yakni dengan memanfaatkan fenomena alam. Selain itu, tidak menghasilkan emisi dan tidak membutuhkan pembangunan lahan yang luas. Masih sedikit negara yang memanfaatkan teknologi berbasis maritim ini, salah satunya adalah Norwegia yang potensi maritimnya masih kalah dibandingkan dengan Indonesia. Potensi Indonesia untuk menerapkan teknologi ini sebenarnya cukup besar, yakni kondisi geografis yang berbatasan dengan laut. Namun demikian, hingga kini pembangkit listrik tenaga osmosis tengah dikembangkan. Sehingga untuk saat ini, selain dihadapkan dengan kendala biaya infrastruktur, akan terdapat pula beberapa kendala dalam pengembangannya di Indonesia, seperti kendala tidak adanya subsidi dana untuk riset dan produksi energi alternatif serta belum adanya regulasi dari pemerintah.

Refferensi
http://en.wikipedia.org/wiki/Osmotic_power (26 Maret 2011 / 8:38 PM)
http://www.tempointeraktif.com/hg/sains/2009/11/26/brk,20091126-210625,id.html (26 Maret 2011 / 8:37 PM)
http://www.alpensteel.com/article/53-101-energi-terbarukan�renewable-energy/4178�pembangkit-listrik-tenaga-osmosis-pertama-di-dunia.html (26 Maret 2011 / 8:42 PM)
http://www.nordicenergysolutions.org/inspirational/renewable-energy-where-salt-water-meets-fresh-water (26 Maret 2011 / 8:54 PM)
http://catatanseorangpemuda.wordpress.com/2011/03/31/teknologi-osmosis-energi-terbarukan-yang-patut-diperhitungkan/

Tags