Latest News

Tuesday, March 6, 2012

Rahasia Rumput Laut sebagai Bioenergi

Potensi Rumput Laut
Ditinjau secara biologi, rumput laut (algae/seaweed) merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Rumput laut mengandung bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini, pemanfaatan rumput laut sebagai komoditi perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis rumput laut yang ada di Indonesia. Padahal komponen kimiawi yang terdapat dalam rumput laut sangat bermanfaat bagi bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.

Berbagai jenis rumput laut seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria, Euchema, dan Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti salad rumput laut atau sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industri gel. Begitupun dengan Sargassum, Chlorela/Nannochloropsis yang telah dimanfaatkan sebagai absorben logam berat, Osmundaria, Hypnea, dan Gelidium sebagai sumber senyawa bioaktif, Laminariales atau Kelp dan Sargassum Muticum mengandung senyawa alginat untuk industri farmasi. Pemanfaatan jenis rumput laut lainnya adalah sebagai penghasil bioethanol dan biodiesel ataupun sebagai pupuk organik. Rumput laut dipandang sebagai bio-energi pengganti BBM yang dipercaya jauh lebih ekonomis ketimbang tanaman jarak, minyak kelapa sawit, dan ethanol dari jagung. Penulis biofuel Ruth Morris (2009) bahkan menyebut laut dengan segala keunggulannya sebagai senjata rahasia melawan kecenderungan perubahan iklim (climate change).

Rumput Laut Dari Suplement Hingga Bio Energi
Teknologi olahan bakal diarahkan untuk mendukung peningkatan produksi perikanan budidaya. Penelitian yang terkait dengan teknologi olahan juga diarahkan untuk pengembagan produk baru dan substitusi barang olahan yang saat ini masih di impor. Khususnya untuk rumput laut akan dikembangkan teknologi olahan rumput laut untuk konsumsi dan non konsumsi. Masarakat pun bisa memanfaatkan produk olahan rumput laut berupa suplemen rumput laut (kesehatan), dikonsumsi seperti biasa (agar), untuk keperluan kecantikan, hingga bioenergi.

Hingga kini,produk olahan rumput laut baik yang dikonsumsi maupun yang non konsumsi ada sekitar 500 jenis dan sebagian besar masih impor. �Padahal kita memiliki bahan mentah yang jumlahnya cukup besar dan potensial. Kita hanya ekspor bahan mentah berupa rumput laut kering, dan kita masih impor produk olahan dari rumput laut seperti pasta gigi, ice cream, ataupun kosmetik,� kata Kepala Balai Besar Riset Pengolahan produk dan Bioteknologi Kelautan dan Peikanan, Dr.Ir. Hari Eko Irianto, di Jakarta belum lama ini.

Guna meningkatkan produk olahan rumput laut, Balai Besar Riset Penggolahan produk dan Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan mulai mengarahkan risetnya untuk memformulasikan ke arah substitusi. Mulai saat ini Riset Pengolahan harus diarahkan untuk menciptakan produk olahan yang bisa bersaing dengan produk-produk olahan dari luar negeri. Di Indonesia, peluang untuk menciptakan produk olahan cukup besar. Hampir semua produk ikan di Indonesia bisa dijadikan produk olahan dan hasilnya sangat menggembirakan. Baik patin, lele dan ikan-ikan yang bakal di produkis dalam skala besar bisa dijadikan produk olahan.

Agar produk olahan di tanah air mampu bersaing dengan produk olahan luar negeri, maka cara membuat olahan jangan sama dengan di luar negeri. Kalau melihat potensi pasar di Uni Eropa, maka jumlah produk olahan yang masuk ke pasar tersebut paling banyak dari Maroko. Produk olahan dari Indonesia hanya sekitar 21 jenis. Padahal produk olahan tak tergantung pada jenis ikannya. Artinya jenis ikan apa saja bisa dijadikan produk olahan yang sesuai dengan yang diinginkan, peluang atau potensi pasarnya juga cukup besar

�Saat ini yang dilakukan hanya meniru produk yang berasal dari luar negeri. Kalau masih seperti ini tentu kita tak akan mampu bersaing. Karena itu masih ada inovasi ke arah penciptaan produk olahan yang benar-benar asli dari Indonesia,� tegas Hari Eko.

Nah, masyarakat luas umumnya mengenal olahan rumput laut dalam bentuk agar-agar. Padahal rumput laut bisa dijadikan teh untuk dikonsumsi. Teh dari rumput laut ini berkhasiat untuk antioksidan dan karotenoid/ fukosantin, tanin (phlorotanin), dan iodium. Olahan rumput laut berupa teh bisa disajikan dengan dicelup (seperti teh celup), serbuk (powder), instan dalam kemasan gelas. Aneka produk olahan rumput laut yang bisa dikonsumsi lainya yang dikembangkan Balai Besar Riset pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan seperti mie rumput laut dan kerupuk rumput laut. Kemudian olahan barbasis surimi(baso dan sebagainya). Rumput laut juga bisa di jadikan kue kering.

Rumput laut dapat dikembangkan menjadi suplemen dalam bentuk tepung, tablet dan kapsul Spirulina sp. Suplemen rumput laut ini dikemas dalam botol gelap tahan selama 3 bulan (suhu kamar 15 derajat celcius). Komoditi unggulan ini juga bisa dijadikan minuman sehat Spirulina sp & Chlorella sp. Di dalam minuman sehat ini konsentrasi 0,3 % flavor additives (pandan, jeruk). Dipastikan minuman sehat tersebut tahan 2 bulan (suhu kamar & dingin). Rumput laut juga bisa dipakai sebagai bahan saos. Tak hanya itu, pecinta ice cream bisa menikmati ice cream rumput laut. Teknologi ice cream rumput laut memanfaatkan alginat 0,8% (karaginan-gum atau alginat-gum) sebagai stabilizer, emulisifer dan thickner tepung ice cream, yaitu 0,4% (iota), karaginan dan 0,1% guargum. Kemudian juga ada suplemen dari rumput berupa tablet effervescent rumput laut yang memanfaatkan aginat 15-20% untuk tablet effervescent dapat membantu menurunkan gula darah.

Seperti diketahui, rumput laut juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan non konsumsi. Balai Besar Riset penggolahan Produk Bioteknologi Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan rumput laut sebagai bahan kosmetik dengan memanfaatkan mikroalgae pada kosmetika (masker). Kemudian skin lotion alginat. Rumput laut juga bisa di kembangkan untuk industri lainya, seperti edible film rumput laut, film coating rumput laut. Teknologi ini bisa memanfaatkan alginofit S. filipendula untuk pembuatan penyalut lapis tipis (film coating), misalnya film coating tablet vitamin A. Bahan : Alginat (1,75%), plasticizer PEG 6000 (20% daro bobot polimer) dan TiO2 (0,5% dari total volume larutan penyalut). Rumput laut juga bisa dimanfaatkan sebagai pengental textile printing.

Tak hanya itu saja, limbah rumput laut juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan memasak. Saat ini telah ditemukan teknologi mengolah briket arang limbah rumput laut. Limbah rumput laut dari pengolahan agar dapat dimanfaatkan dengan dibuat arang briket dengan perekat tapioka menghasilkan panas 4.050 kal/g. R umput laut pun bisa dimanfaatkan untuk pengharum ruangan. Namanya, Pengharum ruangan rumput laut. Teknologi untuk membuat pengharum ruangan rumput laut ini dengan memanfaatkan formulasi karaginan-gum atau agar-gum (1,5%), carrying agent, KCl, Ca asetat, hard parafin, surfaktan, pewangi untuk pengharum ruangan. Ke depan rumput laut akan dikembangkan sabagai bioenergi. Dalam penelitian, sudah ada 20 jenis rumput laut (Banten dan Bali) yang bisa dikembangkan sebagai Bio Energi. Bio Energi rumput laut merupakan salah satu jawaban untuk mengantisipasi semakin mahalnya bahan bakar minyak dunia yang tak bisa diperbaharui. Hanya saja, untuk Sargassum dan ulva tidak bagus karena kurang gula reduksi, namun untuk rumput laut jenis E. Cottoni bagus dengan starter kotoran sapi. Sesuai penelitian, Bio Energi Rumput laut ini rasio C/N E. cottoni 44/l dan limbah karaginan 55/l. Hanya saja, masyarakat sampai saat ini belum bisa memanfaatkan, karena Bio Energi rumput laut masih dalam skala uji coba di laboratorium.

Rumput Laut Penghasil Bioethanol, Potensi Besar Laut Indonesia
Pada era sekarang ini, penggunaan energi semakin meningkat, akan tetapi persediaan energi terutama energi berbahan baku fosil semakin menipis. Persediaan minyak bumi dan batu bara sangat terbatas dan memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk. Selain itu, bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi dan berakibat pada pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan suatu energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global.

Salah satu energi yang terbarukan yaitu energi yang berbahan baku rumput laut. Rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Caulerpa serrulata dan Gracilaria verrucosa merupakan spesies rumput laut yang dapat menghasilkan bioetanol. Jenis ini memiliki kandungan selulosa yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa yang selanjutnya dapat diubah menjadi bioetanol.

Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut yaitu persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, mengubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan, tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi. Tetapi sebelum distilasi, perlu dilakukan pemisahan antara padatan dengan cairan, untuk menghindari terjadinya penyumbatan selama proses distilasi. Distilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dengan air. Titik didih etanol murni adalah 78 oC sedangkan air adalah 100 oC untuk kondisi standar. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78 � 100 oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95 % volume.

Keuntungan mengembangkan energi berbahan baku rumput laut yaitu, proses pembudidayaan rumput laut tidak mengurangi lahan pertanian pangan karena tidak memerlukan lahan darat. Selain itu, Indonesia sebagai Negara kepulauan yang daerahnya terdiri dari 2/3 lautan dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memiliki potensi besar untuk membudidayakan rumput laut. Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budidaya rumput laut seluas 1.110.900 ha, tetapi pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha sekitar 20% dari luas areal potensial.

Proses pembudidayaan rumput laut pun relatif singkat karena hanya memerlukan sekitar 45 hari untuk bisa dipanen. Produktivitas rumput laut cukup tinggi dibandingkan dengan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar, dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Rumput laut pun melakukan fontosintesis sehingga dapat menyerap gas CO2 yang menyebabkan pemanasan global di dunia. Selama ini, pengatasian pemanasan global selalu dikaitkan dengan penanaman pohon. Padahal, laut memiliki potensi yang besar untuk membantu mengatasi masalah pemanasan global. Pengaruh industri bioetanol dari rumput laut terhadap upaya meringankan dampak pemanasan global lebih besar karena etanol rumput laut menyerap karbon dari udara tujuh kali lebih besar dibanding bioetanol dari kayu.

Rumput laut sebagai biodiesel dinilai lebih kompetitif dibandingkan komoditas lainnya. 1 ha lahan rumput laut dapat menghasilkan 58.700 liter (30% minyak) pertahunnya, jumlah tersebut sangat besar dibandingkan jagung yang menghasilkan 172 liter/tahun dan kelapa sawit yang menghasilkan 5.900 liter/tahun. Bioetanol dari rumput laut telah terbukti lebih murah biaya dan menguntungkan dibanding dari tebu dan kayu karena pertumbuhannya lebih cepat sehingga memungkinkan panen sampai enam kali dalam setahun. Biaya produksi bioetanol dari rumput laut lebih murah dibanding dari kayu karena rumput laut tidak mengandung lignin sehingga proses pengolahannya tidak dibebankan oleh penanganan pendahuluan proses.

Kebermaknaan Rumput Laut
Ada sejumlah alasan mengapa Indonesia harus mendorong pemanfaatan rumput laut sebagai energi terbarukan. Diantaranya adalah:
karena rumput laut tidak dikonsumsi setiap saat oleh manusia maka saat dia dijadikan sumber energi terbarukan, maka relatif kecil konsekuensi yang timbul dari pemanfaatannya sebagai biofuel.

1. sebagai negara kepulauan dengan pantai yang panjang dan iklim yang hangat sepanjang tahun, maka Indonesia adalah negara yang mampu menyediakan rumput laut sebagai bahan pembuatan bioenergi. Oleh karena itu, Indonesia sangat besar berpotensi sebagai salah satu negara pemasok bahan bakar nabati (biofuel) guna memenuhi kebutuhan dunia yang semakin meningkat akan energi bersih.

2. sebagai pensubstitusi bahan bakar fosil, pemanfaatan rumput laut sebagai biodisel adalah bersifat terbarukan dan berkelanjutan serta termasuk energi bersih dan efisien.

3. dapat mencegah terjadinya pemanasan global (Mujizat Kawaroe, 2008).

Dalam kaitannya dengan uraian pada poin 1-4 di atas, Pemerintah Indonesia telah memberikan payung hukum untuk hal itu, yakni melalui Perpres No 5 Tahun 2006. Dalam Perpres ini, dikemukakan perihal tentang Kebijakan Energi Nasional yang bertujuan menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri dan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Adapun pembangunan berkelanjutan dimaksud berarti pengembangan energi terbarukan yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat secara murah dan terjangkau.

Rumput Laut untuk Biodiesel
Indonesia dan Korea Selatan menjajaki kerja sama pengolahan rumput laut jenis Gellidium sp untuk menghasilkan bahan bakar nabati atau biofuel. Perairan Indonesia dinilai potensial untuk membudidayakan Gellidium sp, sedangkan Korsel siap menerapkan teknologi biofuel.

Kepala Pusat Data dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Soen�an Hadi Poernomo, Senin (3/11) di Jakarta, mengemukakan, Korsel melalui Korea Institute of Industrial Technology (Kitech) menawarkan penelitian dan pengembangan teknologi budidaya rumput laut untuk biodiesel.

Penandatanganan kerja sama direncanakan akhir tahun 2008 dan implementasinya direncanakan berlangsung mulai tahun 2009. Kitech memperkirakan biaya awal produksi biodiesel berbahan baku rumput laut adalah 2 dollar AS per liter. Biaya produksi itu ditargetkan bisa dipangkas menjadi 1 dollar AS per liter pada tahun 2012.

Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung Muhammad Murdjani mengatakan, potensi budidaya Gellidium sp meliputi perairan Lombok sampai Papua. Di antaranya, Maluku seluas 20.000 hektar dan Belitung 10.000 hektar.

Pemanfaatan Gellidium sp untuk sumber energi dinilai potensial karena rumput laut jenis itu tidak dimanfaatkan untuk bahan makanan. �Pemanfaatan Gellidium sp akan mendorong optimalisasi potensi rumput laut yang selama ini belum banyak diolah,� kata Murdjani.

Menurut Murdjani, kendala utama pengembangan rumput laut adalah minimnya aplikasi teknologi pengolahan dan transportasi angkut. Akibatnya, sebagian besar produk rumput laut dijual dalam bentuk bahan baku sehingga nilai tambah rendah.

Menurut data dari Inha University Korea, satu hektar areal rumput laut bisa menghasilkan 58.700 liter biodiesel, dengan asumsi kandungan minyak dalam rumput laut yang dihasilkan berkisar 30 persen.

Biofuel dari Rumput Laut
Rumput laut memiliki potensi sebagai bahan baku biofuel. Kandungan karbohidrat yang tinggi dari rumput laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku penghasil bioetanol dan biogas. Di Norwegia rumput laut Laminaria telah dimanfaatkan sebagai penghasil bioetanol (Horn et al, 2008) dan di Jepang telah memanfaatkan Ulva dan Laminaria sebagai penghasil biogas (Matsui et al., 2006).Hasil penelitian oleh Abdillah (2008) menunjukkan bahwa rumput laut berpotensi sebagai bahan penghasil gas metan. Rata-rata kadar metan yang dihasilkan dari fermentasi anaerob tiga jenis rumput laut Padina, Gracilaria dan Sargassum mencapai 19 %.Sumberdaya kelautan seperti rumput laut menyimpan potensi bioteknologi kelautan yang sangat besar.

Sumber Refrensi :
1. http://rumputlautindonesia.blogspot.com/2010/10/rumput-laut-dari-suplement-hingga-bio.html
2. http://www.tempointeraktif.com/hg/iptek/2010/06/21/brk,20100621-257065,id.html
3. http://pijar.org/content/view/217/72/
4. http://adios19.wordpress.com/2011/06/09/rahasia-rumput-laut-sebagai-bioenergi/

No comments:

Post a Comment

Tags