Latest News

Wednesday, August 10, 2011

RUMPUT LAUT ALTERNATIF SUMBER ENERGI

Kebutuhan energi Fosil seperti bensin atau solar, kian hari kian meningkat. Hal ini menjelaskan, bahwa, kebutuhan energi masih tergantung pada ketersediaan engergi fosil ini. Padahal ketersediaan energi fosil berbanding terbalik dengan kebutuhannya. Karena sifat energi fosil yang tidak terbarukan.

Pengaturan penggunaan BBM bersubsidi yang belakangan digagas oleh pemerintah. Lebih didasarkan agar subsidi BBM bisa relatif tepat sasaran, bukannya bagaimana mengurangi konsumsi BBM itu sendiri. Misalnya melalui pengaturan jumlah maksimum kendaraan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika ketersedian energi fosil yang tidak terbarukan habis lebih cepat dari perkiraan.

Ironinya, meskipun isu krisis energi santer didengungkan, hal tersebut seperti angin lalu saja. Terutama jika mengacu pada angka kebutuhan BBM. Padahal dengan mengurangi konsumsi energi fosil bisa meredam gejolak global warming yang kian menunjukkan jati dirinya.

Karena disinyalir, dampak dari global warming ini, sangat terasa sejak Tahun 1998. Seperti naiknya temperatur suhu bumi yang melelehkan es dikedua kutub bumi dan membuat permukaan air laut meningkat sekitar 10-25 cm, bahkan pada tahun 2010 temperatur diprediksi akan meningkat hingga 6�C.

Apabila tidak ada upaya pengendalian akan menjadi petaka terhadap penurunan kualitas hidup umat manusia. Misalnya melalui pengadaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil.

Penyusutan dari sumber daya alam BBM tersebut merupakan tantangan dari semua pihak. Sebagaimana tertuang pada UU no 30 Tahun 2007, Tentang Energi, dimana Pemerintah wajib menyediakan energi terbaru dan terbarukan sebagai bagian dari diversifikasi energi dan juga tanggungjawab semua pihak.

Pemerintah pun telah meluncurkan berbagai program salah satunya adalah pemanfaatan minyak jarak, minyak sawit, ubi kayu dan berbagai biji-bijian digunakan sebagai bahan baku BBN (Bahan Bakar Nabati) terbarukan. Namun proses budidaya yang memerlukan lahan cukup luas, menjadi kendala di lapangan karena lahan tersebut ternyata digunakan juga sebagai lahan budidaya tanaman pangan yang juga tetap harus menjadi prioritas utama.

Solusi yang muncul atas masalah terakhir ini digunakanlah lahan marginal sebagai tempat pembudidayaan bahan baku BBN. Namun efisiensi penggunaan lahan ini belum ada data yang jelas. Sementara itu ada komoditi lahan yang dapat digunakan sumber bahan baku BBN yaitu rumput laut. Proses pembudidayaan rumput laut yang tidak mengurangi lahan pertanian pangan dan luas wilayah negara kita yang 2/3-nya berupa lautan tentunya bisa menjadi pertimbangan utama.

Indonesia sebagai negara kepulauan,dan memiliki panjang pantai sekitar 81.000 km memilki potensi bahan baku rumput laut untuk energi alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bioethanol. Rumput laut yang melimpah di perairan Indonesia adalah bahan tumbuhan prospektif bagi kemandirian energi alternatif dari tumbuh-tumbuhan.

Potensi pengembangan bioetanol rumput laut lebih besar dibandingkan dengan pengembangan bioetanol berbahan baku tebu. Data survey menunjukkan ketersediaan lahan di luar Jawa yang sesuai untuk tebu terdapat sekitar 750 ribu ha, disamping potensi arael existing industri seluas 420 ribu ha (areal tebu Indonesia tahun 1993/1994). Luasan ini lebih kecil dibandingkan potensi lahan budidaya rumput laut yang mencapai 2,1 juta ha.

Selain itu asumsi yang sudah berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa 80 liter bioetanol dapat dihasilkan dari 1 ton tebu (data teknis di Brazil) dan produktivitas tebu rata-rata 80 ton per ha, maka dari setiap ha lahan tebu dapat dihasilkan 6.400 liter etanol. Apabila etanol dari tebu dapat mensubstitusi 10% dari kebutuhan gasoline pada tahun 2010 (33,4 milyar liter), maka target tersebut bisa dicapai dengan pengembangan areal tebu seluas 522 ribu ha.

Dengan target subsitusi tersebut, jumlah bioetanol yang dapat disubstitusi sebesar 3,34 milyar liter atau lebih dari Rp 15 triliun. Sedangkan produktivitas rumput laut rata-rata 25 ton per ha per panen (umur panen 2 bulan), maka akan dihasilkan rumput laut 100 - 125 ton per ha per tahun. Tentunya akan menghasilkan bioetanol yang lebih besar lagi.

Dari uraian di atas bisa di tarik pemahaman bahwa penggunaan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan bioetanol memiliki keuntungan waktu budidayanya singkat dan produktivitasnya tinggi dibandingkan menggunakan tebu, singkong, ubi jalar dan jagung sebagai bahan baku bioetanol. Wilayah Indonesia yang 70 % -nya berupa perairan sangat cocok sebagai lahan budiaya rumput laut.

Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut adalah persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisa pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, merubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sedangkan tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi.

Sebuah peluang besar pengembangan energi alternatif di masa depan, yang dimiliki oleh Bangsa ini. Sebuah peluang untuk lepas dari ketergantungan sumber energi fosil yang pasti habis dan tak terbarukan. Sejauh mana kita sungguh peduli dengan sumber energi terbarukan ini? Kapan kita mulai? atau selalu seperti biasa kita tertinggal dan baru peduli setelah kejadian? Semoga kali ini tidak.

Sumber : http://www.greenmining.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=342&catid=89&Itemid=106

No comments:

Post a Comment

Tags